Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Aku dan Tunas Sawi di Halaman Rumah


"Semua yang aku lihat, tumbuh. Terkadang bergerak meski tak kasat mata. Sesekali mereka menghilang. Pergi ke antah yang tidak tau di mana tempatnya."

Aku memiliki sebuah keyakinan jika semua yang ada di bumi atau di semesta lain, sebetulnya saling terhubung, memiliki ikatan untuk membuat sebuah pesan menjadi kesepakatan. Memberi informasi dari banyak bahasa tanpa perlu ada lisan yang dijabarkan. Gerak tubuh yang mengisyaratkan sesuatu, tanda-tanda yang disepakati; ya atau tidak, 0 atau 1, baik atau lebih baik, sebuah gerakan untuk menggambarkan kepanikan, ketakutan, bahagia, sedih, lucu, bahkan marah. Biner panjang yang merangkai sebuah senyum dan membaginya menjadi banyak bagian. Senyum senang, senyum ramah, senyum perkenalan, senyum pamit, senyum kesal, dan senyum lain. Simbol-simbol ini sudah kita pahami, dan menjadi kesepakan naluriah dari-diri-sendiri, pada diri-sendiri-yang-lain.

Aku membagi diriku menjadi tiga individu; diriku sebagai alat, diriku sebagai nafsu, dan diriku sebagai nurani. Kami rutin melakukan rapat evaluasi mingguan, untuk memperbaiki minggu selanjutnya dari waktu kemarin, juga menakar seluruh hal yang sudah kami lakukan, mengklasifikasikannya menjadi suatu yang perlu diulang, atau tidak sama sekali. Aku menyebutnya ‘evolusi rasa’, media berbenah dari partikel paling kecil dari diri sendiri. Pada intinya, mereka adalah aku ketika dianggap sebagai sebuah kesatuan.
Semua individu ingin didengar, punya tempat bercerita untuk bertukar pikiran, atau sekedar memberi kisah tanpa butuh tanggapan. Aku, tubuhku, dan otoritas pikiranku.

Selayaknya batang sawi yang tetap tumbuh dalam gelap, mengawali kehidupan dari biji, kecambah, lantas merekah. Sawi berproses tanpa kenal tetangganya, juga tanpa tau siapa sawi sebenarnya. Di ruang sempit yang kerap luput dari tanya dan jawab, apakah sawi meraba detik-detik yang akan datang? Apakah sawi juga merapal doa pada penciptanya? Ah, mungkin saja iya, atau malah tidak sama sekali. Karena sudah secara otomatis kehidupan sawi terjauh dari dosa dan segala apa-apanya. Barangkali sawi tidak sempat memikirkan afeksi dari sesamanya, seperti yang perlu diulang: sawi berproses tanpa kenal tetangganya. Relasi dan aktulisasi diri bagi sawi adalah omong kosong yang tidak perlu dipertanggungjawabkan pada siapapun. Antara tanah, cacing, air, dan makhluk dekomposer. Hierarki kebutuhan sawi tidak serumit aku ketika menjadi satu kesatuan.

Tiap-tiap partikel yang tidak pernah berhenti selalu saja menjunjung tinggi nama cahaya, sebagai ilahi, atau sumber penghidupan pada terang, pada yang menembus jendela menuju sasana, berpendar menerangi seisi waktu yang tidak menentu. Aku, sawi, dan bentuk-bentuk lain dari keniscayaan.

Nukleus minta pulang.


1 komentar untuk "Aku dan Tunas Sawi di Halaman Rumah"

  1. Saya tidak dapat cukup berterima kasih kepada Dr EKPEN TEMPLE kerana telah membantu saya mengembalikan kegembiraan dan ketenangan dalam perkahwinan saya setelah banyak masalah yang hampir menyebabkan perceraian, alhamdulillah saya bermaksud Dr EKPEN TEMPLE pada waktu yang tepat. Hari ini saya dapat mengatakan kepada anda bahawa Dr EKPEN TEMPLE adalah jalan keluar untuk masalah itu dalam perkahwinan dan hubungan anda. Hubungi dia di (ekpentemple@gmail.com)

    BalasHapus