Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Catatan untuk Menghargai Pergi agar Pulang





Pengantar yang Sesungguhnya Tidak Perlu

Seperti terapi, kadang baik, juga kadang tidak baik, tergantung kadar dan kebutuhan. Ikuti saja, toh kekaguman yang aku dan kamu rasakan sekarang sudah jadi bagian dari rencana Tuhan. Sekeras apapun kita memaksa, tanpa izin dari-Nya, semua akan sia-sia. Kiranya begitu kepercayaan yang aku anut. Agar tau batasan dari suatu yang tak terbatas.

Barangkali kamu pernah mendengar ‘tidak ada usaha yang sia-sia, tidak ada yang tidak mungkin’, ya, benar, setiap usaha tidak ada yang sia-sia, dan semua bisa menjadi mungkin karena sebuah kemungkinan yang dimungkinkan. Tapi, sesekali sebagai selingan, aku mengajakmu untuk mempercayai bahwa ada yang tidak mungkin, ada yang sia-sia, ada yang seharusnya tidak perlu. “Sebagai selingan” karena menjadi terlalu yakin pada yang tak meyakinkan juga tidak baik.

Hidup hanya hidup, semua sudah diatur.

Aku banyak bertemu dengan orang yang berambisi dengan dunianya, mereka bilang “hidup sekali dan tidak ingin menjadikannya sia-sia,” jika aku diberi izin untuk menanggapi, memang hidup yang penuh dengan kesia-siaan itu seperti apa? Apakah dengan memilih untuk tidak banyak uang berarti hidup dalam kesia-siaan yang malang, ya?

Paradigma ini juga tumbuh subur di desa-desa, setiap anak harus sekolah agar kelak sukses, memiliki banyak uang, punya kerjaan enak. Jangan jadi seperti bapak, hanya petani dan susah. Akhirnya, tanah sawah dijual. Yang semula subur padi terhampar luas, berganti apartemen dan gedung perkantoran. Konon, negara yang kuat punya ketahanan pangan yang hebat. Nyatanya produksi beras di negeri ini kalah banyak dengan sampah yang bermuara di laut.

Aku juga banyak bertemu yang sebaliknya, mereka yang ‘katanya’ tidak begitu mengejar dunia, mereka yang sepenuhnya percaya bahwa Sang Maha sudah membuatkan alurnya; rejeki, jodoh, dan kematian. Mereka sering bilang, “kita hanya dituntut nafsu, buat apa mengejar yang sebentar jika yang abadi ditinggalkan. Pasrahkan saja, jika tidak hari ini mungkin besok, atau mungkin nanti di sana (Surga).” Sebagian dariku sepaham dengan golongan ini, sebagian diriku yang lain menerka, mencari yang pas menurutku, kemantapan yang mungkin sudah dimiliki orang lain tetapi belum ada di diriku.

Miskin itu gaya hidup, jika nanti jadi kaya, berarti sudah takdirnya, kata Anton Ismael. Dan mungkin saja secara sederhana “semua sudah diatur” diartikan seperti itu. Sebagai manusia yang bernegara, kita juga punya aturan, sebut saja undang-undang, kekal namun dinamis. Bisa saja peraturan Tuhan juga seperti itu, dinamis, tergantung seberapa fleksibel Tuhanmu, dan seberapa dipertimbangkannya dirimu oleh-Nya. Aku hanya ingin menjadi aku untuk orang lain, oleh karenaku, bukan karena orang lain, sebagai pertimbangan-Nya, boleh?

Sampai sini, harusnya aku, kamu, Anda, kita, mereka, seluruh individu yang dilahirkan, atau individu yang tidak mati muda, memilih untuk sepakat pada perbedaan, karena kita memang dilahirkan tidak dengan jiwa yang sama, tidak dengan raga yang sama, tidak dari sumber yang sama, kecuali aku dan kamu adalah saudara seperanakan. Pun, ketika kita diputuskan untuk dilahirkan dari sumber yang sama, kita akan menjadi diri kita masing-masing, juga dengan jalannya sendiri-sendiri.

Pada intinya, terima kasih karena sudah tidak merepotkan dirimu dengan menjadikan perbedaan sebagai bahan perdebatan. Catatan ini akan jadi pengingat jika tiba saatnya aku jadi seorang pelupa yang taat, dan akan menjadi memoar panjang dari kunjungan yang sebentar.

Catatan untuk Menghargai Pergi agar Pulang

Kebersamaan itu indah
Perbedaan itu menguatkan
Tak ada pembeda maka semua sama
Selalu sama maka takan ada variasi
Semua sudah ditentukan
Alur sudah terlihat
Bahwa saling melengkapi adalah kebahagiaan
Saling mengasihi merupakan anugerah 
Rezeki bukan hanya soal materi
Melainkan teman dan keluarga adalah rezeki yang diluar nalar
Bersenda gurau menyanyikan lagu senja
Itu sebagai penutup hari kami

Ungkapan hati dan harapan mahasiswa UNPAD tentang Papua, Hafidz Mukhlisin, saat mengikuti Ekspedisi NKRI dalam buku saku "Mengenal Suku-suku Papua dari Topografi Wilayah".

Kepi, 1 Agustus 2018.

Catatan ini dibuat saat beberapa hal yang aku lalui untuk pertama kali dimulai, juga di tempat yang pertama kali aku kunjungi, di Gedung Putih. Bukan, bukan di Amerika, bukan juga gedung perkantoran yang difungsikan sebagai tempat berkerja presiden beserta jajaran mentrinya dari Paman Sam itu. Gedung Putih di Kepi merupakan satu-satunya penginapan di Mappi yang bisa aku gunakan untuk tidur siang, alasannya karena tidak ada hotel lain, dan alasan yang lain, siang di hotel ini begitu santai, dan kami belum memulai perjalanan.

Banyak alasan kenapa kita memilih pergi dari kenyamanan, salah satunya; nyaman tidak selalu memberikan ketentraman, dan salah duanya, nyaman membuat kita lupa. Maka, harus ada pergi sebentar agar tau rasa pulang.
“Sehingga kemanapun kita pergi, kenyataannya kita selalu pulang. Karena ke penjuru Indonesia manapun kita melangkah, kita selalu pulang kerumah, sebuah rumah yang kaya bernama Indonesia.” -Rebiyyah Salasah
Ternyata, yang aku maksud pergi, sudah salah dari awal. Nyaman, dan selalu merasa pulang pada sebuah rumah yang kaya bernama Indonesia.

Seminggu sudah aku pergi dari Yogya, beberapa hari di Jakarta, merasakan hingar bingar dengan segala kebisingan, di mana terang bukan lagi sebuah kemewahan. Pelatihan singkat dengan wajah-wajah baru menjadikan Jakarta sama saja, tetap menjadi zona merah bagiku. Wilayah yang selalu aku garis bawahi ketika ingin mengunjunginya; kepentingan. Jakarta bukan kota yang ramah untuk berlibur.

Selama dua hari mengikuti pelatihan di Jakarta, yang berhasil aku tangkap adalah: terang, terang, terang dan terang. Papua harus terang, sederhananya begitu. Segelap apa, Papua? Apakah listrik adalah keharusan? Apakah adil harus sama rata? Pertanyaan-pertanyaan yang hinggap di kepalaku. Jawa sentris menjadikan pemerataan ini sebagai ajang perbandingan.

Seklebat, pernah aku membaca sebuah pengantar dari Butet Manurung dalam buku: Yang Menyublim di Sela Hujan, milik Fawaz, buku yang menceritakan Papua, tentang pendidikan di Asmat. Ia menceritakan tentang bagaimana kerasnya kaki para porter yang ikut bersama kelompoknya saat mendaki Jaya Wijaya tahun 1993. Menggilas duri tanpa alas, menerjang tajam bebatuan dengan bebas. Belasan tahun kemudian, ia mendengar ada proyek “persepatuan” di salah satu desa di Papua. Konon, mereka menuntut donator sepatu karena setelah empat tahun memakai sepatu, dan setelah sepatu mereka tidak lagi bisa digunakan, telapak kaki-kaki mereka menjadi lembut, sehingga menjadi sakit saat digunakan berjalan di tanah Papua tanpa menggunakan sepatu.
“Nah, lebih hebat mana mereka, yang sebelum atau sesudah memakai sepatu? Sekarang, tanpa sepatu dan tanpa kaki yang kuat, bukakah mereka menjadi tergantung? Bukankah mereka menjadi lebih miskin daripada sebelumnya? Ini disebutnya bantuan, tetapi sesungguhnya pemiskinan!”
Pengantar tersebut menjadi renungan untukku, agar tak salah, dan tidak menjadikan mereka yang benar-benar kaya menjadi miskin karena ketergantungan yang sebetulnya tidak mereka inginkan. Mereka harus susah payah cari uang untuk bayar listrik. Padahal, mereka tidak butuh.

Perjalanan dimulai saat matahari sudah tenggelam, selepas senja dengan menyisakan temaram. Jakarta tetap benderang dengan kesibukannya. Pesawat melaju menuju Makasar, terbang dengan melepas panas beserta emisi keudara, khas kemajuan zaman. Di Makasar, pesawat tidak berhenti lama, seperempat jam diam untuk mengisi bahan bakar, setelahnya, burung besi yang aku tumpangi kembali terbang tinggi menuju Jayapura.

Sebelum berangkat, aku sempat mendengarkan lagu dari Edo Kondolongit, Aku Papua. Sepenggal liriknya tertulis dan menjadi kalimat pembuka di buku saku, wajar jika aku penasaran. “Tanah Papua tanah yang kaya, surga kecil jatuh ke bumi …” Benar saja, di iringi ramah hangat matahari, setumpuk tanah berpunggung menyambut dari luar jendela, hijau warna kehidupan, dan jernih danau dari kejauhan, sebuah pagi diketinggian di atas Sentani.

Tiga jam yang panjang dari Makasar, akhirnya pesawat mendarat di Jayapura, turun bersamaan dengan air mata yang ikut jatuh ke pipi. Surga itu masih ada, gumamku dalam hati. Sekarang, diri ini makin terlihat kecil, lalu menjadi paham makna tentang pulang. Ke penjuru yang kita sepakati menjadi rumah, tanah kaya, Indonesia.

Nanti, kita akan bercerita lagi. Dan akan terus berlanjut.
Terima kasih.

Hidup!


Posting Komentar untuk "Catatan untuk Menghargai Pergi agar Pulang"