Seandainya Aku Bisa Menanam Angin | Fawaz
Sebagai pengantar
sebuah resensi yang saya tulis untuk diri saya sendiri.
Saya pernah kecil, dan jelas semua orang tau itu. Karena
sebelum sebesar sekarang, pasti ada tahapan tumbuh dan berkembang. Ada waktu
ranum, ada waktu kritis, ada waktu layu, dan ada waktu untuk kembali segar. Seperti
bunga yang selalu merindukan air langit, menantinya turun dengan tergesa-gesa,
berharap, berdoa, dengan banyak pertanyaan.
Hidup setelah hujan.
Menjadi kecil merupakan kerinduan setelah dewasa. Ya, dewasa.
Lebih baik jika saya tulis dengan ‘menjadi besar’ karena yang mengaku dirinya
dewasa belum tentu dewasa. Pun jadi dewasa bukan perkara mudah, ada pencapaian
yang harus digapai, ada norma yang harus ditaati, ada yang boleh dan ada yang
tidak.
Anak-anak bebas berlarian tanpa baju, tanpa celana, tanpa
sehelai kain pun yang melekat, ada masalah? Tidak! Anak-anak memang begitu,
kata orang dewasa. Lalu, setelah ‘dianggap’ dewasa, kamu melakukan yang sama,
maka, kamu akan distempeli sebagai orang yang terganggu kewarasannya. Gila.
Satu-satunya yang bisa saya lakukan sekarang untuk tetap
menjadi anak-anak adalah berimajinasi; mengandai, membayangkan, berkhayal. Dan
buku ini membawa imajinasi saya pada anak-anak lain, pada bocah yang pernah
sama usianya dengan saya, sama-sama pernah lahir, pernah bayi, pernah batita,
balita, lalu anak-anak.
Semua pantas untuk dirindukan.
***
Sebuah pesan yang ditulis Fawaz untuk saya: bersenang-senang,
membaca, membaca, membaca, dan menulis. Agar supaya pesan yang Fawaz tulis
tidak sia-sia, saya membaca buku “Seandainya Aku Bisa Menanam Angin” sebanyak
tiga kali, lalu menuliskannya secara ngawur, semau saya.
Sedikit penjelasan: dalam keseharian saat saya bertemu Fawaz,
saya memanggilnya dengan tambahan ‘mas’ atau ‘pak guru’. Seperti umumnya
tradisi untuk memanggil/menyapa individu yang usianya lebih tua. Dan diulasan
kali ini, saya sedang meniru Tadius Bisaka, anak-anak dari Asmat, Papua, yang
ia juluki sebagai anak ajaib. Alasan lainnya, karena sedang tidak berada di
dalam ruang belajar. Namun, jika sedang dalam suasana belajar, “ah, Pak Guru,
itu tidak baik itu, tidak boleh itu. Jangan ajar kita orang yang buruk. Kamukan
guru, jadi kita orang harus panggil kamu Pak Guru.” Begitu, kata Tadius Bisaka.
Baik, begini ceritanya:
Buku ini saya dapatkan langsung dari penulisnya, Fawaz, saat
bedah buku di Omah Pari. Sebuah tempat diskusi untuk membahas apa saja, satwa,
tanaman, pertanian, pendidikan, buku, kebencanaan, seks, organisasi, revolusi,
teknologi, apapun, semaumu.
Buku Seandainya Aku Bisa Menanam Angin merupakan buku kedua
Fawaz yang rilis menjelang pertengahan 2019. Buku ini diterbitkan oleh Buku
Mojok, memiliki tebal 196 halaman, dan sudah dua kali cetak. Mungkin sebentar
lagi buku ini akan naik cetak untuk kali ketiga.
Di buku ini, Fawaz menceritakan tentang anak-anak yang ia
ditemui di banyak tempat, saat menjadi sukarelawan guru di Lembaga Sokola
Institute, dan di tempat lain yang ia kunjungi. Diurai dalam empat bagian:
Anak-anak Rimba, Anak-anak Asmat, Anak-anak Kaki Gunung Argopuro, dan Anak-anak
di Beberapa Lokasi Lainnya.
Semuanya tokoh dalam buku ini adalah anak-anak, kecuali
Fawas, teman-teman Fawaz, dan orang tua murid yang Fawaz temui.
Dari judulnya saja, buku ini sudah menggambarkan keriangan
tentang imajinasi, ‘menanam angin’. Konon, judul buku ini diambil dari kolom
komentar Facebook yang ditulis oleh salah satu murid Sokola Rimba untuk seorang
guru perempuan. Fawaz menjelaskannya dalam lembar-lembar awal.
Begitu sudah cukup? Belum? Ya, manusia memang seperti itu,
tak lekas merasa cukup. Jadi, mari lanjutkan.
Saya akan menuliskannya dalam empat babak, sesuai pembagian
yang ada di buku ini.
Babak pertama: Anak-anak Rimba.
“Katanya orang kota sekolah, lebih pintar dari kami,
sekolahnya tinggi-tinggi, kok buang sampah saja masih di sungai.” –Menosur
Seutas kutipan yang saya ambil dari kumpulan cerita Anak-anak
Rimba. Kalimat dari Menosur tersebut langsung saya garis bawahi ketika
membacanya, seolah, saya langsung mendapatkan gambaran tentang Orang Rimba
meski belum pernah berjumpa barang sekali. Sebuah pemikiran kritis yang
menggambarkan antara dua keadaan berbeda, kota dan rimba. Spontanitas dari
Menosur merupakan wujud dari kebiasaan yang ia lakukan bersama komunitasnya,
ajaran untuk menjaga alam sekitar agar terus berkelanjutan.
Apakah yang bersekolah tinggi selalu baik? Apakah orang kota
yang “katanya” berpendidikan itu menjamin untuk tidak buang sampah sembarangan?
Ahh, seharusnya pernyataan Menosur sudah menjawabnya.
Dalam Anak Rimba, selain Menosur ada dua tokoh lagi yang saya
idolakan, Becayo dan Jagat Pico. Saat mereka sedang berada di hutan, saya
dibuat cekikikan sewaktu membaca tentang kejahilan mereka, Fawaz tak berdaya di
rimba, begitu pula sebaliknya, si murid saat Fawaz kerjai di kota, aksi saling
balas antara guru dan muridnya, juga saat mereka mengerjai Bepak Nguncang. Sebuah
hubungan anti-baper yang sakral.
Kisah Anak Rimba juga kaya akan nilai-nilai toleransi, dan
berbagi. Betapa menyenangkannya jika sekolah seperti itu, seperti yang
dirasakan Anak Rimba, murid belajar dari guru dan guru akan terus belajar dari muridnya. Timbal balik yang
seimbang.
Babak kedua: Anak-anak Asmat.
Di babak kedua ini, sedikit banyak saya sudah mengenal
tokoh-tokonya lewat buku pertama Fawaz (Yang Menyublim di Sela Hujan). Sebut
saja Tadius Bisaka, si anak ajaib. Atau anak-anak lain yang tidak kalah
menyenangkannya dari Tadius Bisaka. Ada satu bagian yang lagi-lagi membuat saya
tertawa saat membaca buku ini, yaitu saat Fawaz mengisahkan Daniel yang
dimintai tolong untuk membelikan rokok. Ahh, itu kejadian yang segar menurut
saya, di mana Daniel mendasari hal yang ia lakukan dengan prinsip untung rugi.
Dari Asmat, dan kisah bocah yang mengorganisir teman-temannya
untuk menjaga orang solat, ini menarik. Anak-anak yang mendasari dirinya dengan
menghargai perbedaan, mengenali hal baru dengan rasa keingintahuan, lalu
mengkonversikannya menjadi sebuah kepercayaan untuk saling melindungi satu sama
lainnya.
Pada bagian lain, masih Anak-anak Asmat, saya merasa ikut
kehilangan ketika mengetahui salah satu tokoh dalam buku ini, yang juga ada di
buku sebelumnya, sudah dipanggil Tuhan. Seorang gadis pandai yang terbangun
bayangannya dalam imajinasi saya, ternyata sudah tidak ada. Duka ini juga ikut
saya rasakan, seolah saya mengerti mereka tanpa melihatnya, tanpa pernah
bertemu secara langsung, berkat cerita yang Fawaz tulis.
Imajinasi ini makin tergambar nyata di kepala saya saat
berhasil mengingat Rudi, Marlina dan teman-teman kecil lain yang selalu
meluangkan waktunya untuk mengajak saya bermain, memancing atau sekedar
jalan-jalan menyusuri kampung Bade. Sebuah kampung di Kabupaten Mappi, Papua
yang saya kunjungi tahun lalu.
Jadi, samar tentang Tadius Bisaka, Titus Taima, Daniel, dan
Ema, sedikit mengobati kerinduan saya pada tanah Papua.
Babak ketiga: Anak-anak Kaki Gunung Argopuro
Buku ini syarat akan kritik, menurut saya begitu. Kritik
panjang yang disampaikan dengan cara yang menyenangkan. Sebuah kritik yang
kasusnya dirasakan langsung oleh penulis, beserta solusi dan alternatif yang ia
lakukan bersama teman-temannya.
“Tugas anak-anak itu belajar, Man, setelah itu main. Bukan
ikut orang tua berkerja ke kebun. Begitu Pak RT selalu bilang kalau sedang
marah ke kami.” –Ibu Ustman
Kutipan dari percakapan antara Ustman dan kedua orangtuanya.
Anak-anak dilarang berkerja, dan membantu orang tua adalah anggapan yang salah
karena tidak diperbolehkan, dikira mengeksploitasi anak, mengganggu waktu
belajar juga bermain mereka.
Padahal, anak-anak bermain di sela membantu orang tua, saya
pribadi keberatan dengan kebijakan “anak dilarang membantu orang tua berkerja”
karena, ya, kebetulan saya anak petani, sewaktu saya membantu orang tua, ada
transfer ilmu yang mereka berikan, ada informasi, minimal saya bisa tau
bagaimana bentuk suket teki, manfaat ilalang, khasiat krokot, dan tumbuhan
rumput lain dari berkebun. Sewaktu saya SD, saya dipasrahi sepetak tanah dan
dibebaskan menanam apa saja, naluri anak kecil; meniru, mengikuti, mereplikasi
apa yang mereka lihat. Sepetak lahan yang saya tanami bawang daun itu
menghasilkan PS 2, game console yang
terhitung mewah pada masanya. Apakah seperti itu bukan pendidikan? Pun saya tak
merasa keberatan, tidak merasa terganggu waktu bermainnya.
Mari kembali lagi, jangan kebablasan seperti peraturan itu.
Babak ketiga menaikan lagi perasaan pembaca, untuk
bersama-sama mengkaji sejauh apa kebablasan dalam konteks eksploitasi anak
tersebut, dan lagi-lagi disampaikan dengan cerita yang santai dan mudah
dipahami.
Babak keempat: Anak-anak di Beberapa Lokasi Lainnya
Fawaz tidak bisa jauh dari anak-anak, begitu kiranya yang
bisa saya tangkap. Menjelang akhir dari buku ini, Fawaz makin mempertajam
kritiknya dengan menceritakan beberapa pengalaman pribadinya, tentang teman
kecilnya, tentang anak-anak petani tembakau di Temanggung, dan anak-anak penyintas
di Karawana.
“Penyeragaman sistem dan materi pendidikan yang diberikan,
mau tak mau menjadi alat utama yang mengalienasi anak-anak dari komunitas
mereka, mencerabut anak-anak dari laku keseharian komunitas. Anak-anak asing,
terasing, dan memang diasingkan dari keseharian komunitas mereka dengan
dicekoki utopia modernisme dan westernisasi di bangku sekolah. Pada akhirnya,
mereka digiring untuk masuk pada arus besar pekerja yang melayani kebutuhan
tenaga kerja para pemilik modal, gelombang besar kapitalisme.” –Fawaz
Sebagai penutup, buku ini saya rekomendasikan untuk kamu,
untuk dibaca. Barangkali ada kejahilanmu yang sama dengan mereka, anak-anak
dari penjuru Indonesia. Mengenali laku mereka dari cerita luas yang dikemas
ringan, merenungi sebuah tawa, merasakan kesedihan, merayakan perbedaan, dan
menghargai bahwa kebenaran hanyalah hasrat yang ditunggangi oleh keinginan
lain, keinginan yang menjadi pembatas, juga membatasi diri sendiri untuk bisa menerima keberagaman.
Terima kasih.
Hidup!
Posting Komentar untuk "Seandainya Aku Bisa Menanam Angin | Fawaz"