Obrolan Sukab | Seno Gumira Ajidarma
"Tidak punya rumah bukan berarti Sukab menyewa apartement, tinggal di hotel seperti Iwan Simatupang, masih mengontrak rumah atau indekos sebagaimana layaknya orang yang belum punya rumah. Bukan. Sukab tidak punya apa pun kecuali dirinya sendiri."
Obrolan Sukab, sebuah buku pemberian dari salah seorang guru kepada saya. Konon, alasan beliau memberikan buku ini karena tingkah tokohnya mirip dengan saya. Apakah ini benar? Benar atau tidak, kebenaran hanyalah milik mereka yang merasa benar dan sanggup membenarkan kebenarannya. Pun saya bingung harus bersikap bagaimana, bangga atau menerka. Kenapa saya? Kenapa Sukab?
Ah, silakan baca Sukab dan Jakarta melalui link yang sudah saya tautkan. Agar tidak ada sedikit pun salah paham diantara kita. Sukab dan saya tidak saling kenal, dan kami belum pernah bertemu sebelumnya.
Siapa Sukab?
Sukab adalah seorang perantau yang tersesat dalam kehebohan Jakarta, orang kecil yang tidak memiliki rumah dalam artian sebenarnya. Berkerja bermodal cangkul dan pengki, menjajakan tenaga untuk pekerjaan berat dengan bayaran yang cukup untuk makan hari ini. Untuk besok, ia akan pikir lagi besok, dengan harapan ada truk yang mengangkutnya, membawanya untuk memindahkan muatan dari atas truk ke tempat yang diinginkan atau sebaliknya, atas kehendak mandor. Dalam kapasitasnya yang kecil di Jakarta yang begitu besar, tidak membuat Sukab memiliki pemikiran yang sempit. Sukab menjadi karakter dengan pengetahuan yang mengagumkan.
Dalam buku ini, Sukab tidak sendiri. Ia beserta konco-konconya, Mang Ayat, pemilik warung pinggir jalan yang merangkap sebagai juru masak untuk sekumpulan manusia non-masak; adalah Bahlul tukang obat, Dul Kompreng kernet mikrolet, Jali tukang ojek, Hasan buruh bangunan, Mamik penjaja kopi saset dan istrinya, Rohayah, tukang sapu gedung tinggi yang berkerudung. Juga ada seorang yang menjadi karakter penengah jika obrolan antara Sukab dan konconya mulai memanas, Abang Dosen. Nama aslinya Vincent, diceritakan, nama tersebut terlalu sulit untuk lidah orang pinggiran.
Buku Obralan Sukab dikemas dengan nuansa pinggiran yang berbobot. Sukab dan konco-konconya sesama kuli dan buruh kelas bawah biasa mengobrol topik-topik kelas atas tentang korupsi, tahun baru, politik, nasionalisme, teroris, kampung halaman, intoleransi, HAM dan obrolan lain yang membuat saya harus membacanya lebih dari satu kali untuk mengerti.
Buat saya pribadi, memahami isi dari obrolan di warung pinggir jalan itu sedikit sulit, menjadi sulit karena dikemas dengan sudut pandang lain. Bukan sulit sebagai harfiahnya. Bagaimana bisa topik setinggi itu bisa dikemas dalam tulisan ringan bertajuk obrolan? Sebagai manusia yang juga non-masak, nir-ilmu dan bangga dengan kepolosannya, saya kagum. Kagum pada Penulis. Bukankah seharusnya begitu? Hehehe.
"... dan kibul itu bernama ideologi."
Sebuah akhir kalimat pada obrolan: Sukab dan Cuci Otak. Ya, cukup untuk membolak-balikan otak agar terus berkerja memikirkan sebuah kesimpulan, membangun konstruksi berpikir yang baru dan segar, utamanya untuk diri saya sendiri. Menjelang akhir obrolan adalah bagian yang paling saya suka. Karena selalu ada yang diselipkan, entah sebagai pernyataan atau pertanyaan.
Satu lagi, kutipan yang agak panjang ini saya tulis ulang dari obrolan ter-favorit saya dalam buku ini, berjudul: Sukab dan Apakah Itu Normal.
...
"Ngomong-ngomong, Bang Otot, apakah normal itu?"
Bang Otot sang pereman kampung terperangah.
"Normal ya normal! Kayak gitu aja elu tanyain!"
Wajah Sukab yang dingin tidak berubah.
"Ini penting. Bang Otot sebetulnya tahu atau tidak apakah sebenarnya yang disebut normal itu?"
Mengikuti adatnya, tangan Bang Otot udah gatel pengin mengembat Sukab, karena nada bicara sukab samar-samar seperti merendahkan. Namun terlalu banyak orang di warung itu yang belum diketahuinya, apakah akan menjadi takut atau malah mengeroyoknya.
"Apakah Bang Otot tahu bahwa normal itu adalah anggapan yang merupakan produksi kuasa wancana dominan?"
Bang Otot hanya bisa memelintir kumis dengan mata menahan marah.
"Apakah Bang Otot tahu bahwa proses dari bentuk normalisasi adalah bagian dari karakter disipliner lembaga-lembaga modern, prektek dan wacana tempat tubuh-tubuh jinak menjadi sasaran, dimanfaatkan, diubah, dan diperbaiki?"
Sukab rupa-rupanya memang tidak menunggu jawaban.
"Apakah Bang Otot paham bahwa normalisasi merujuk proses tempat subjek individual dapat diedarkan di sekitar sesuatu sistem dengan kategori-kategori bertingkat, terukur, dan berselang-seling yang menjadi aturan-aturan sosial budaya yang dianggap normal?"
Sukab meneruskan sambil menyambar pisang goreng.
"Apakah Bang Otot setidak-tidaknya pernah mendengar, yang disebut disiplin melibatkan organisasi atas subjek dalam ruang melalui praktek, latihan, dan standarisasi yang terpilah-pilah dalam penataan untuk memproduksi subjek dengan kategorisasi dan penamaan dalam tata hirarkis melalui rasionalitas dari efesiensi, produktivitas, dan normalisasi, sehingga dalam kuasa melakukan kategorisasi itulah yang berbeda dan lain terjuluki sebagai tidak normal, meski dalam dirinya sendiri mereka itu normal, sangat amat normal, bagaikan tiada lagi yang lebih normal, begooo?"
Bang Otot menelan ludah. Mulut maupun otaknya sendiri sudah terkunci, meski mata semua orang yang memandangnya seperti ingin tahu betul dirinya bisa menjawab apa. Bang Otot adalah golongan manusia yang berbicara tanpa pernah mempelajari apa yang dibicarakannya itu. Ia hanya bisa menggebrak meja lantas pergi.
Abang Dosen di sudut berkerut kening, baginya mudah saja melacak pemikiran Michel Foucault, tapi ia tidak bisa menduga bagaimana Sukab mengetahuinya.
"Dari warnet," ujar Jali tukang ojek, yang seperti biasa membaca pikiran Abang Dosen, "upah hariannya sebagai tukang batu habis untuk klak-klik-klak-klik."
***
Sukab dan konco-konconya merupakan karakter yang dibangun oleh Seno Gumira Ajidarma. Obrolan Sukab merupakan kumpulan tulisan yang pernah muncul dalam rubrik "Udar Rasa" di Harian Kompas, sejak awal 2016 sampai awal 2018. Lalu, Obrolan Sukab muncul sebagai rubrik mandiri di Panajournal.com sejak 1 April 2018.
Silakan beli, pinjam, atau baca seklebat milik teman. Buku ini merupakan kumpulan kisah dan obrolan menarik, pesan dari pinggiran untuk sesuatu yang besar.
Selain kutipan yang saya ambil langsung dari buku "Obrolan Sukab," selebihnya hanyalah opini saya pribadi. Saya yakin ada banyak kesalahan, maka dari itu, saya haturkan terima kasih karena sudah membaca, berikut dengan permohonan maaf karena artikel ini tidak ditulis dengan baik.
"Ngomong-ngomong, apakah normal itu?"
~hahahaha
Posting Komentar untuk "Obrolan Sukab | Seno Gumira Ajidarma"