Aku, Aliran, Tai dan Kenangan
Sekali waktu, kami pernah berkunjung ke sebuah teluk di ujung Sumatra, pergi menggunakan mobil hijet 1000, masa itu usia hijet 1000 belum terlalu tua. Berlampu bulat dengan posisi mesin tepat di bawah penumpang. Apa lagi yang perlu diragukan dengan kehandalan mobil ini? Sering mogok, iya. Rewel, iya. Nyusahin juga, iya. Satu-satunya keunggulan mobil ini hanya karena bobotnya yang ringan, jadi kami tidak kerepotan meski hanya didorong dua orang.
Usia saya belum genap dua belas tahun, tapi sebuah ransel berisi dua botol air mineral 1,5 liter, senar, kail, bandul dan bekal berisi nasi, sambal, beserta lauk seadanya hinggap di punggung. Perbekalan kami mumpuni, didukung dengan semangat 'di mancing kali ini, ada banyak ikan yang bisa kami tangkap'. Optimis itu merajai pikiran, panas matahari saja tak cukup untuk menggeser tegapnya badan memegang joran, sepenuhnya arah hadap kami menyongsong laut.
Pikir saya waktu itu, "benar kata ayah, orang mancing gak bisa maju". Jelas saja, dua meter melangkah ke depan, nafas kita pasti tersendat karena gulungan ombak. Resiko yang tidak menjanjikan. Kesabaran tak berujung, harapan kami tinggi, kenyataan kami terkatung pada ikan yang entah kapan mau makan.
Hijet 1000 diisi empat orang, Mayes, Ayah, Om Usup, dan saya. Matahari sudah menunjukan gelagat pamit, sinarnya mulai sayu tenggelam di barat. Di batas ujung mata bisa melihat. Seruan 'ayo pulang' tidak terdengar, tapi kembalinya kami satu persatu ke mobil adalah panggilan senyap. Sebuah pertanda jika hari harus ditutup dengan menyudahi perburuan ikan tanpa hasil. Om Usup, adalah satu-satunya penumpang hijet 1000 yang memilih lokasi memancing paling jauh, butuh waktu sekitar 15 menit berjalan kaki untuk sampai ke mobil. Dengan jarak tempuh seperempat jam, tubuh tegap dan tinggi tadi, hanya terlihat sebesar ibu jari. Lumayan jauh.
Di teluk yang kami kunjungi terdapat satu aliran sungai dengan air yang jernih. Saya sempat berendam di sana. Anak kecil mana yang mampu menahan panas seharian tanpa tarikan joran yang dimakan ikan? Bosan adalah naluri alamiah dari seorang bocah.
Sinar matahari mulai berganti lampu senter, jok hijet 1000 sebelah penumpang diangkat, ada radiator yang harus diisi sebelum mesin dipaksa start. Cadangan air kami tidak banyak, dua botol yang menjadi bekal sudah habis sejak siang. Cuma ada satu pilihan, air sungai, atau tidak pulang.
Kadang menjadi anak kecil ada sisi tidak enaknya, seperti senior dan junior, meski ayah dan anak, tugas-tugas seperti mengambil air harus dilakukan. Perintah langsung yang pantang ditolak. Saya tetap berangkat. Sebotol air bukan perkara sulit. Namun air sungai diluar jangkauan cahaya, saya terlalu malas untuk pergi ke sana. Toh, tidak jauh dari tempat mobil terparkir, ada aliran kecil yang bisa saya gunakan.
Saat saya mengambil air, saya menyadari ada yang tidak beres, bau tidak sedap menyerempet hidung, terhisap masuk sampai di pangkal paru-paru. Ini bukan sembarang bau, tapi botol yang saya isi sudah tiga perempat menjelang penuh, dan tetap saya lanjutkan. Botol saya tutup kencang, senter dari arah mobil menuntun jalan saya pulang. Kamu tau apa yang saya lihat? Setapruk kotoran manusia berada dua meter di atas saya. Sejalur dengan aliran di mana saya mengambil air.
"Mayes, tadi waktu aku ngambil air, ternyata diatasnya ada tai. Aku baru tau setelah botol penuh". Saya tau, pengakuan tersebut terlambat karena air sudah dituang setengah, jok sudah ditutup dan mobil sudah hidup. Kami siap berangkat, sisa Om Usup saja, dia masih berjalan, jaraknya sudah tidak jauh lagi.
"Woo, dasar, kebiasaan. Mana tadi airnya?" Mayes sedikit kesal, ini bukan pertama kalinya saya melakukan hal sejenis. Sudah terlalu banyak perkara yang saya buat. Akhirnya, sisa air tadi saya ambil dari bawah jok bagian tengah. Tapi tidak lekas saya berikan. Sementara itu Mayes keluar dari mobil, memanggil Om Usup agar berjalan lebih cepat. Botol tadi saya letakan di dashboard depan, sebetulnya saya agak jijik dengan botol tersebut. Bayangan tai masih mengedar di kepala saya.
Suara Om Usup sudah terdengar, heboh dan renyah. "Kie iwak gedi kie", becandanya. Padahal ia hanya dapat satu ikan, tidak besar, dan bukan ikan dari golongan prioritas. Kami menyebutnya ikan kemarus, ikan yang hidup di antara bebatuan dan arus kencang. Baunya amis kurang sedap, menurut saya rasanya kurang enak. Mungkin kucing doyan ikan juga akan sependapat dengan saya. Pintu dibuka, semua peralatannya diletakan di mobil bagian belakang, kemudian Om Usup langsung masuk dan duduk.
Tidak ada perbincangan, semua seolah lupa dengan air radiator, jalanan yang rusak membuat pandangan sang supir tidak lepas dari jalan. Mayes memilah lubang demi lubang. Tetiba ayah menyenggol saya saat Om Usup meraih botol yang saya letakan di dashboard. Sebuah pertanda "lihat itu ulahmu". Di bagian tengah, saya dan ayah mencoba menyembunyikan tawa, cekikikan yang nyatanya sulit dibendung. Tidak lama kemudian Mayes sadar dan ikut cekikikan. "Sial, masalah." Pikir saya waktu itu. Saya tidak mencoba menghentikan, ayah juga begitu. Berlangsung seperti tontonan serial komedi, menarik, sebisa mungkin jangan dihentikan.
Air sudah ditenggak berkali-kali. Mungkin panas matahari membuat Om Usup lupa bertanya, itu air apa. Ia baru angkat bicara setelah botolnya ditutup rapat kembali. "Airnya kok rasanya aneh sih, Nda?"
Tidak ada yang menjawab, tawa malah makin pecah. Saya sudah tidak mampu membayangkan bagaimana reaksi cacing di dalam perut Om Usup saat mengetahui air yang lewat selang tenggorokan merupakan cairan limbah. Barangkali beberapa cacing di garda terdepan sudah pingsan.
Setengah perjalanan ditempuh, saat kejadian sudah lagi bukan penyesalan, saya menceritakan bagaimana tai tersebut mengkontaminasi air yang sekarang sudah berada di lambung Om Usup. Saya meminta maaf, dengan sisa-sisa tawa yang terlepas. "Emang lu, ya, kurangajar. Air gak bener ditaro sembarangan." Kata Om Usup dengan nada kesal separuh mual.
Dia menggerutu, tapi tidak terdengar jelas. Komponen mobil hijet 1000 sudah banyak yang kendur, suara grudak-gruduk menjadi selingan dari gumaman panjang di jalan berlubang. Setelah jalan gragal habis "... ra mati. Tapi asu, aku ngombe taiku dewe." Bagian terakhir yang terdengar sangat jelas. Epilog dari jengkel yang bukan main. Tawa kami malah menjadi lagi, ternyata kotoran di aliran yang airnya saya ambil dan diminum Om Usup adalah tainya sendiri.
Lebih dari sepuluh tahun lalu, tapi rasa bersalah itu masih melekat pada diri saya. Harusnya saya bisa lebih. Kenapa cuma airnya?!
Posting Komentar untuk "Aku, Aliran, Tai dan Kenangan"