Tetangga, Maafkan Masa Kecilku
"Jika menjadi anak-anak menyenangkan, kenapa manusia harus tumbuh dan menjadi dewasa? Aku ingin jadi kecil lagi, boleh?"
Satu-satunya
keberuntungan yang paling bisa dirasakan saat menjadi pengangguran seperti
sekarang ini adalah berhasil mengingat masa kecil. Sebuah masa di mana teori
konspirasi tidak perlu dikaji, dirasa tidak penting untuk diperdebatkan.
Sebatas tau jika Newton bukan penemu apel, Tesla pernah kesetrum, atau teori
lain berdasarkan buku sejarah yang tebalnya tidak lebih dari 89 halaman. Sebuah
anugerah terbaik karena tidak lupa, barangkali memang tidak bisa dilupakan
begitu saja. Akan terus teringat dan terus diceritakan sampai generasi
selanjutnya. Anak cucu harus tau jika pendahulunya juga pernah kecil. Pernah
menanam biji kacang hijau dan menganggap tumbuhnya kacang tersebut sebagai
penemuan yang besar.
Baiknya saya saja tulis
kisah ini, jika saya tidak beruntung dan terus hidup sampai tua, sampai pikun.
Anak dan cucu saya nanti akan menceritakan kisah ini, mereka akan bertanya
kisah kakenya saat kecil. Seperti yang pernah saya lakukan dulu ke nenek,
berdasarkan kisah yang pernah ibu ceritakan. Sebagai pengingat atau sebagai
cerita penghantar tidur saat malam yang sesungguhnya malam tiba. Mati sebagai
pecundang yang berbahagia di atas kasur, bukan di medan perang.
***
Kalau saja waktu itu
saya dilahirkan dan tinggal di Gaza, mungkin ibu saya tidak perlu menahan malu
karena ulah anaknya. Tapi, apapun itu, tetap saja saya bersyukur karena tidak
perlu lari menghindari peluru dan reruntuhan, karena Tuhan menitipkan ruh itu
ke rahim seorang perempuan yang kebetulan tinggal di sebuah perumahan. Oleh sebab itu, untuk seluruh kehidupan di Gaza, di Palestina, salam hormat. Sang Maha Tunggal selalu bersama kalian. Semoga kita sama bersyukurnya.
Matahari masih terik,
biarpun sudah tidak tepat di atas kepala, paparannya masih terasa menyengat.
Siaran tv yang kala itu menjadi satu-satunya hiburan gratis sudah tidak lagi
menyenangkan untuk anak-anak, jam tayang kartun sudah habis. Berganti
infotaiment, reality show remaja, dan berita. Untuk anak kecil, apa pentingnya
perceraian artis? Apa pentingnya putus cinta yang termehek-mehek? Saya rasa,
tidak ada relevansinya sama sekali. Lebih baik mblanyang menikmati terik ketimbang harus menikmati acara dalam keterpaksaan.
Sewaktu kecil, saya sangat
suka bersilaturahmi, mengunjungi tetangga yang terlihat mengepul dapurnya, atau
menuju rumah yang beraroma wangi, terutama wangi kue. Biarpun kulkas di rumah
penuh, lemari makan berjejer hidangan, di meja bertaburan toples berisi roti
kering. Tetap saja, rumput tetangga terlihat lebih menyegarkan. Karena
silaturahmi adalah kunci.
“Bude!” Panggil saya ke
Bude Tadi, lengkapnya Bude Sutadi. Sutadi merupakan nama suaminya.
“Iya? Sini, masuk.
Kenapa?”
“Nanti, kata ibu, ada
arisan di rumah.”
“Haa?” Menunjukan roman
terkejut. “Ibu udah masak-masak?” Lanjutnya.
“Iya, udah siap-siap,
lagi masak. Aku ngasih tau Wak Nopi dulu ya, Bude.”
Saya langsung pamit,
pergi mencari rumah lain, rumah Wak Nopi. Sebetulnya saya sudah tau rumah Wak
Nopi, tapi mencari juga boleh toh? Pun dia tidak pernah ada di rumah jika matahari
sudah lewat dari puncaknya. Seperti umumnya ibu rumah tangga di komplek,
bersosial dengan sesama tetangga untuk membicarakan tetangga lain. Kegiatan
yang sudah jadi hal lumrah.
Arisan merupakan agenda
rutin, jadwalnya sudah ditetapkan, ketika ada perubahan, biasanya di tanggal
yang sudah disepakati itu ada kepentingan lain, kepentingan mendesak bagi sang
pemilik hajat. Waktu itu belum ada broadcast.
Jadi, menghampiri satu persatu, menyebarkan informasi dari rumah ke rumah adalah
cara terakhir selain bikin pengumuman di Masjid.
Sedikit penjelasan: ibu
biasa menyuruh saya untuk menghantarkan makanan ke tetangga, menyampaikan
pesan, atau undangan lain secara lisan. Secara tidak langsung, kredibilitas
saya sudah diakui seantero komplek, independensi masuk dalam kategori baik, dan
aktualitas yang jelas. Sampai sini cukup? Baik, saya lanjutkan.
Di komplek perumahan
yang saya tinggali, tidak semua pintu terbuka setiap saat. Hanya beberapa saja,
beberapa yang lain harus diketuk dulu agar dibukakan pintu. Sisanya, tidak
perlu diketuk, penghuninya belum pulang. Mereka adalah golongan warga dengan
tipikal pekerja, jika ingin memberi mereka kabar atau undangan, tulis saja di
kertas, lalu selipkan lewat bawah pintunya.
Pencarian rumah Wak
Nopi tidak saya lanjutkan, percuma. Saya langsung menuju pohon cokelat, sebuah
pohon yang sudah mulai malas berbuah, besar dan rindang, lengkap dengan sarana
dan prasarana penunjang rekreasi bibir, tempat di mana ia biasa menghabiskan siang
sambil menunggu suaminya pulang.
Di tempat itu, Wak Nopi
tidak sendiri, ada beberapa perempuan lain: Bu Munaw, Mbah Sakilah, Uni Dian,
Mama Reni, dan dua orang baru, saya belum sempat kenal sampai mereka pindah
lagi. Mereka juga melakukan ritual yang sama, “bersosial!”
“Wak, kata ibu, nanti
sore arisan di rumah.”
“Aih, yang bener?!”
“Ibu lagi masak-masak.”
Sebelum saya pergi, ibu
memang sedang memask, tapi tidak tau untuk apa, untuk arisan atau bukan, yang
terpenting adalah ‘ibu sedang memasak,’ itu saja.
Tanpa menunggu
pertanyaan atau jawaban yang akan dikeluarkan Wak Nopi, saya langsung pergi.
Kali ini menuju lapangan, barangkali ada orang, jika tidak ada, saya akan pergi
ke rumah salah satu teman, meminjam kaset video game lalu pulang, atau main di
rumahnya sampai sore.
Benar saja, di lapangan
tidak ada orang. Peserta pertandingan yang biasanya hadir masih tidur siang.
Biasanya begitu. Saya masih merasakan betapa menyebalkannya tidur siang, sama
seperti anak komplek yang lain. Beruntungnya, saya lebih suka kabur daripada
tidur. Dan penyesalan itu baru terasa sekarang.
Sore terasa begitu
cepat. Mortal Combat di console Sega
belum tamat, tapi senja hampir habis. Matahari yang berada di ujung barat
merupakan tanda alam yang harus dipatuhi. Ayah selalu berpesan, jangan pulang lebih
sore dari ayam. Artinya: sebelum adzan selesai, saya harus sudah di rumah.
Perjalanan pulang yang
hanya beberapa ratus meter itu terasa sepi. Biasanya ada sekumpulan ibu-ibu
yang menyapa saya, terkadang menawari kudapan, minuman atau buah. Perumahan di
tempat saya tinggal merupakan wujud kerukunan yang terstruktur.
Saat melewati rumah
Mama Ratu, saya dipanggil. Gerakannya sedikit terburu-buru, pakaiannya sudah
rapi, komplit dengan tas jinjing yang ada di tangan kanannya.
“Nda, bareng.”
Pintanya.
“Mau ke mana, Mama
Ratu?”
“Ke rumahmu. Arisan.”
Seketika, seperti ada
petir yang menyambar kepala saya. “Sial, arisan!” Saya hanya mampu bergumam
dalam hati. Apakah Bude Sutadi dan Wak Nopi melanjutkan kabar siang tadi?
Apakah benar ada arisan di rumah? Apakah ibu betul memasak dengan porsi yang
cukup? Ah, biar.
Langkah kaki
diperlambat. Menunda sedikit waktu untuk melihat kekacauan. Saat memasuki
gerbang rumah, ibu-ibu yang sudah berkumpul langsung memandangi saya dan Mama
Ratu. Mama Ratu sedikit kebingungan. Informasi, dia butuh informasi. Saya
berusaha tetap tenang, sementara ..
“Udah selesai acaranya,
Bu Dzul?” Tanya Mama Ratu.
“Coba tanya ke Wak Nopi
aja, Mama Ratu.” Jawab Bu Dzul yang sudah lebih dulu tau.
“Nanda mana Nanda?” Wak
Nopi langsung menghampiri saya yang baru masuk beberapa langkah dari gerbang. Mama
Ratu tidak mendapatkan langsung jawaban atas pertanyaannya. Di belakang Wak
Nopi ada ibu, ibuku. Dia satu-satunya perempuan yang tidak bersolek sore itu.
Dari kejauhan, ayah menyimak, pandangannya tidak lepas barang sedetik. Mimik
mukanya seperti menahan tawa.
“Elu ya, ngibulin orang
sekomplek!” Nadanya melengking, matanya melotot seperti ingin keluar, “kurang ajar, ngerjain orangtua,” lanjutnya.
“Ini yang ngasih tau
ibu-ibu ini Wak Nopi?”
“Iya, gua tadi keliling
siang-siang, lu bilang ada arisan.”
“Berarti, bukan aku
dong yang ngibulin orang sekomplek, aku cuma bilang sama Wak Nopi dan Bude Tadi,
kok.” Saya mencoba meyakinkan ibu-ibu yang lain. Satu persatu dari mereka yang
datang mulai mendekati saya dan Wak Nopi.
“Arisan, ya?” Kali ini
ibu saya angkat bicara, dua tangannya sudah di pinggang. Ia masih dengan
dasternya seperti tadi siang saat memasak. Belum mandi.
“Gak arisan ya, bu?”
Saya balik bertanya, “aku kira tadi ibu masak buat arisan.” Sekali lagi, saya
mencoba meyakinkan ibu-ibu yang kian ramai.
Tak butuh waktu lama, Bu
Mur, Bu Kus, Mama Putri, dan Uni Dian yang tadinya sedang lihat-lihat koleksi
bunga kesayangan ibu, teralih perhatiannya. Mereka tergugah untuk merapat, saya
sudah dikelilingi ibu-ibu, seperti sedang berada dalam persidangan. Ada
penuntut, ada saksi, ada tersangka, tapi tidak ada satupun yang membela. Hanya
saya yang membela diri saya sendiri. Ibu-ibu yang gemas mulai mencubiti saya.
Sementara itu, ibu saya yang tanpa dandan itu langsung meminta maaf, berharap
ibu-ibu yang sudah repot membuat alis, bergincu, serta berwangi-wangian tidak
kapok dan tidak menyesal karena sudah rela bersolek bukan untuk suaminya. Ibu juga
menahan diri untuk tidak ikut gemas. Ayah yang sedari tadi sudah menahan diri,
makin tidak kuat untuk tidak cekikikan.
Sebentar kemudian,
kakak perempuanku keluar membawa nampan berisi air sirup dengan irisan buah. Di
belakangnya lagi ada Bude Tadi, membawa tiga piring yang diatasnya sudah berisi
kue. Sirup, buah dan kue yang mereka bawa adalah penghuni kulkas, siang tadi
saya masih melihatnya. Bukan makanan baru jadi yang sengaja dibuat untuk acara
sore itu. “Benar, tidak ada arisan.” Pikirku.
“Makanya, Wak Nopi, di
konfirmasi dulu, jangan langsung sebar berita. Namanya juga anak kecil.” Ucap Bude
Tadi. Ia bak malaikat yang sedang mengulurkan tangannya, membantuku keluar dari
cerukan yang dipenuhi ular dengan jenis bisa tinggi.
“Bude kenapa datang
juga?” Wak Nopi masih ketus, mencoba membentengi diri atas berita yang sudah
terlanjur ia bagikan.
“Saya juga kena kibul!”
Yang tegang pecah, yang
terperangah jadi lebur, membaur dalam tawa di perkumpulan dadakan itu. Semua
ibu-ibu yang datang sudah tidak mementingkan ego dan kesalnya. Berganti dengan
sebuah sukur karena silaturahmi adalah kunci. Ya, harusnya mereka bersyukur
karena ada pertemuan untuk membicarakan apa saja, ada bahan gunjingan lain
untuk dibicarakan besok atau lusa.
Bukankah Tuhan menganjurkan umatnya untuk senantiasa bersyukur?
Tetangga, maafkan masa kecilku
Terima kasih sudah membaca.
Sukur!
Posting Komentar untuk "Tetangga, Maafkan Masa Kecilku"