Pulang yang Membingungkan | Mudik Mode On
Lebaran
sudah lewat, tapi maaf-maafan masih berjalan. Begitu juga cerita-cerita tentang
kampung halaman, masih terngiang. Bahkan, beberapa orang masih bangga membahas
tentang tetangga di tanah kelahirannya. Mengkisahkan segala sesuatu yang baru
di desanya, toples lebaran, kejeblugan petasan, atau persepupuan yang terkadang
jadi pembahasan panjang di meja makan.
Sayang
rasanya jika lebaran tahun ini hanya dilewatkan. Bukan berarti dibiarkan,
dilupakan begitu saja Tapi, tidak terdokumentsikan dalam bentuk apapun. Tidak
tervisualkan, tidak diaudiokan, juga tidak tertulis. Oleh sebab itu, tulisan
ini saya dedikasikan untuk saya sendiri, dua dekade yang akan datang. Sembari
menikmati kopi tubruk yang diseduh dengan cara konvensional dipagi hari,
membaca berita di koran digital, di depan rumah yang menghadap jalan utama,
melihat orang hilir mudik terburu-buru karena takut telat sampai di kantornya.
Usia kepala empat yang menyenangkan. Semoga.
Musim mudik
tahun ini, saya memilih pulang tanpa menitipkan tubuh pada rangkaian gerbong
panjang, pada bis yang bergoyang, atau pada burung besar yang tidak pernah
mengepakkan sayap. Saya memilih jalur mandiri, jalur yang mengkombinasikan raga
dan pikiran untuk tetap fokus ke jalan. Agar otak memberi perintah pada kaki
dan tangan, supaya tidak tarik gas dan injak rem dalam waktu berbarengan. Agar
ada bokong yang panas, ada hati yang menggerutu karena jalan yang berlubang.
Agar ada emosi yang timbul saat angkot menurunkan penumpang sembarangan. Lalu
istighfar, karena terlalu banyak konsimsi agar-agar tidaklah baik.
Saya
menggunakan sepeda motor untuk pulang ke Lampung dari Jogja. Sebetulnya saya
sedikit skeptis bisa sampai di rumah atau tidak. Tubuh saya bisa sampai,
mungkin tidak dengan motornya. Entah dijual di jalan, mogok karena rantai yang
tak mau lagi bergandengan, ban pecah, busi mati, mesin lepas, atau tragedi lain
yang bisa saja terjadi meski saya tidak mau. Maklum motor tua. Usianya sudah
masuk kepala tiga, bukan lagi umur prima untuk diajak jalan-jalan jauh.
Sekalinya batuk, mretel. Untuk mengantisipasi hal-hal buruk
terjadi, sebelum berangkat, ada satu ritual sakral yang saya lakukan. Saya usap
speedometernya, lalu saya bisikan dengan lirih tepat di spion kanan. Jangan
kecewain adek ya, mbah.
Memulai
perjalanan saat matahari sedang merah-merahnya. Seperempat jam sebelum magrib
berkumandang. Sengaja saya melakukan perjalanan saat petang,karena saat tiba
buka puasa jalanan lebih lenggang. Jadi, menuju etape pertama, saya bisa siksa
motor Win keluaran tahun 89' dengan liar. Gas sekencang-kencangnya. Andai
kata njeblug, Jogja belum begitu jauh. Saya bisa mengklaim
garansi yang mereka berikan saat servis terakhir sebelum pulang.
Etape
pertama saya memilih Kebumen, 125 km dari Jogja. Umumnya bisa ditempuh dalam
tiga jam jika jalan normal. Sayangnya tidak. Jalannya memang normal, tidak
macet. Motor juga tidak merengek sama sekali. Masalahnya ada pada saya. Setelah
melewati Wates, harusnya saya tetap lurus ke barat, arah Alun-alun Kutoarjo.
Berhubung ingatan saya tidak sebaik lumba-lumba, saya memasrahkan diri pada
petunjuk jalan yang disediakan pemerintah. Di situ tertulis, Kebumen, dengan
panah arah kiri. Orang bilang, kiri adalah simbol perlawanan, dengan dasar itu,
intuisi mengajak saya untuk berbelok ke arah sana, melewari jalur truk yang
waktu itu tidak ada, diliburkan karena jalurnya digunakan untuk lebaran.
Saya sudah belasan kali melewati rute ini,
Jogja – Bandung, Jogja – Jakarta, Jogja – Tasik, terhitung sering karena saya
lebih suka lewat selatan ketimbang jalur utara. Sedikit memutar lebih baik dari
pada tidak pergi sama sekali. Dan tetap saja merasa awam, jauh dari kata hafal.
Dari persimpangan lampu merah, saya melanjutkan perjalanan ke selatan dengan
tenang, dengan penuh percaya diri, sebelum pukul sepuluh, saya sudah tiba di
Kebumen, pikir saya saat itu. Di persimpangan selanjutnya, saya
dihadapkan dengan petunjuk arah lain, lurus Kebumen, kanan Kota. Dengan sedikit
kebimbangan, saya pilih arah kota, menuju pusat Purworejo. Jika tadi kiri lebih
baik, apa salahnya mencoba kanan. Intuisi sialan itu datang lagi.
Arah kota,
ya, arah kota. Saya mencoba meyakinkan diri berulang-ulang. Sepenuhnya saya
menggunakan feeling. Tanpa maps, tanpa petunjuk
arah yang menyebutkan Kebumen menuju arah mana. Sementara hati kekeh akan
sampai Kebumen, ternyata saya malah balik arah Jogja. Kelokan-kelokan tipis
membuat saya disorientasi. Dan kebodohan belum berenti sampai
di sini.
Kondisi
lampu motor saya tidak mati, tapi kurang pantas jika dibilang hidup. Hanya
sedikit lebih terang dari sentir angkringan. Aspal berlubang, aspal bagus,
tidak ada bedanya. Sama hitam dari sorot lampu kuning dengan nyalanya yang
tidak seberapa.
Perasaan
ragu makin membuncah, keyakinan hilang, tidak semuanya, hanya sebagian. Sebagiannya
lagi dilindungi perasaan gengsi untuk menepi. Roda terus berputar, jalan makin
malam makin ramai. Ada sebuah tempat terang di ujung pandang nun jauh disana.
Sebelum hancur, keyakinan datang lagi. Kali ini hadir dalam format utuh.
Alun-alun Kutoarjo sudah sesak di pikiran saya. Semakin dekat, bukan bahagia
yang saya dapat. Yogyakarta International Airport, tulisannya belum berubah,
masih sama seperti saat saya lewat sebelumnya. Yang berubah hanya arah saya
melihatnya, pertama dari lajur kiri, kedua dari lajur kanan, dan saya harus
membuatnya kembali ke kiri untuk menjadikannya kali ketiga. Ternyata lampu
benderang dari kejauhan yang saya lihat bukan alun-alun.
Sampai saat
ini, saya masih bingung kenapa bisa sebegitu lalainya. Jarak yang saya tempuh juga
cukup panjang, jauh. Harusnya saya tau jika salah arah. Pun saat berangkat,
saya melewati jalan itu, paling tidak ada tanda kecil yang bisa saya ingat,
barang gedung atau pohon. Namun tidak satupun waktu itu. Saya terus melaju,
ikut jalan. Atau hal ini ada sangkut pautnya dengan ghaib? Menjelang lebaran,
setan emang masih keliaran, ya?
Kebumen menyambut saya lima belas menit
sebelum tengah malam, tepat enam jam dari jam awal kepergian. Mungkin lima jam
saya berkendara, sisanya saya habiskan di depan tulisan Yogyakarta
International Airport pada pertemuan ketiga. Melakukan renungan sambil
menertawai diri sendiri, menikmati kebodohan, sekaligus membenarkan arah hadap.
“Jika ingin kebarat, bandara sebelah kiri. Jika sudah kiri, terus saja. Boleh
sesekali kanan, asal tetap ingat tujuan. Tidak lupa!” Gumam saya dalam hati.
Bersambung
...
Posting Komentar untuk "Pulang yang Membingungkan | Mudik Mode On"