Tukang Sampah juga Cita-Cita
Beberapa tahun belakangan ini, kampanye tentang sampah sedang
gencar-gencarnya di Indonesia. Dari bersih pantai, bersih sungai, bersih
gunung, atau bersih yang lain, sedang marak. Mungkin sedang musimnya,karena
Indonesia merupakan negara dengan ribuan musim. Apakah mengganggu? Tentu tidak,
malah bagus, saya pribadi turut bersuka ria dengan bangkitnya gairah
teman-teman muda yang rela mengotori tangan mulusnya dengan memungut plastik
bening bekas telur gulung, bakso tusuk, batagor, somay, dan sederet jenis
makanan pinggir jalan lainnya yang kalo udah dibuang, bakal nyisain lendir
coklat kemerahan sisa kecap, saus dan sambel kacang. `
Sayangnya semangat tersebut gak sampai ke depan rumah, gak ada
komunitas yang mau datang untuk bersihin
halaman depan, nyapu dedaunan yang jatuh atau mungutin biji melinjo yang gogogrok akibat ulah codot. Kalo ada kan
lumayan, saya jadi bisa mengeksplor passion
saya sebagai pemimpi, melanjutkan tidur untuk bangun lebih siang, dan
goler-goler nikmatin ngulet berkepanjangan tanpa repot denger celoteh tetangga
yang kejam itu. Tapi gak papa, saya udah biasa sendiri, bisa bersihin sendiri.
![]() |
Foto: Google |
Bicara tentang sampah, seheboh apa sih isu ini? Buat saya pribadi, sih. Heboh
banget. Kanal Instagram penuh dengan
postingan reuse, reduce, recycle. Mungkin
karena algoritma Instagram yang rumit, dan kebiasaan saya. Unggahan yang
berhubungan dengan sampah jadi sering muncul, baik yang berbayar ataupun
gratis. Ya, gratis. Modal hastag doang. Sekali lagi ini gak jadi masalah. Saya
malah suka karena ada tambahan ide buat ngolah sampah yang saya hasilkan untuk
dibuat jadi hal yang lebih berguna.
Lalu, masalahnya dimana?
Masalahnya, apakah isu ini sudah sampai di telinga anak-anak usia balita?
Usia yang lima belas atau dua puluh tahun lagi menggantikan usia anak muda
sekarang yang sedang meledak-ledak. Apakah konsep zero waste sudah mulai ditanamkan sejak dini? Mereka emang paham
kalo plastik gak bisa terurai, gak bakal bisa menyatu dengan alam, dan ketika
hancur, malah jadi mikro plastik, tak kasat mata, masuk ke tubuh ikan lalu
dimakan, terhirup dan mengendap di tubuh? Emang mereka tau kalo sampah yang
diproduksi di negeri ini jauh lebih tinggi dari produksi beras setiap tahunnya?
Duh, kalem dong, Malih. Nanti Bambang keplak loh kalo ngegasnya gak bisa
pelan-pelan.
Kita skip sebentar tentang
sampah dan permasalahannya. Kita mulai dengan bincang yang adem, gak pake
ngegas, lugu, ringan dan mendasar jika perlu.
Tentang balita dan sampah, apakah ini penting? Buat saya sangat penting.
Karena buang sampah pada tempatnya adalah kebiasaan yang dibangun sejak dini, dari
lahir dan gak bisa ujug-ujug datang gitu aja. Memasukan sampah plastik, atau
sampah tak terurai ke tong yang berwarna kuning dan sampah daun maupun sisa
makanan ke tong berwarna hijau bukanlah sebuah wahyu, melainkan kebiasaan.
Sekali lagi, kebiasaan. Pun balita belum sanggup jika harus diajak diskusi
tentang pengelolaan sampah terpadu. Jadi, mulai saja dari kebiasaan kecil
seperti mengajari mereka memilah antara organik dan anorganik. Memberi wawasan
lain tentang bijak menggunakan plastik, dan edukasi sampah sederhana lainnya.
Pelan-pelan.
Hal lain yang menurut saya penting untuk anak usia dini adalah cita-cita.
Jadi tukang sampah gak pernah masuk dalam daftar cita-cita. Sampai sebesar ini,
saya tidak pernah mendengar anak usia TK ingin jadi tukang sampah. Kecuali
Fizi, bocah berusia kurang lebih lima tahun yang bersekolah di Tadika Mesra (TK
Kasih Sayang). Pun itu saya rasa bukan atas dasar keinginan Fizi sendiri. Ada
pelaku lain yang memaksanya karena posisi dokter sudah terisi, insinyur, pilot,
guru dan profesi umum lainnya sudah lebih dulu dipilih temannya. Agar merata,
Fizi jadi tukang sampah saja. Dan bisa saja ini ulah Iksan. Heheh. Malah bikin
konspirasi. Saya sangat suka Upin dan Ipin episode ini, terlebih pada Fizi yang
dengan bangga hati ingin menjadi tukang sampah. Top!
Harusnya para orang tua juga
belajar dari serial Upin Ipin yang sederhana, memberi referensi kepada anaknya,
kepada keponakannya, adiknya, tetangganya, beri tau semua orang, jadi tukang
sampah gak kalah worth it kalo
dibandingin sama dokter. Bukan bermaksud untuk membuat perbandingan, tapi hasil
dari sampah tidak bisa dibilang sedikit.
Untuk kelas pengepul, perbulannya bisa mendapatkan keuntungan minimal
setara gaji PNS di Ibu Kota, belum lagi jika usaha merambah sampai pengolahan.
Ya, lumayan. Sediki lebih banyak t dari
gaji CEO PT. Garuda Indonesia. Antaranya kalo keuntungannya direcehin, ditukar
dengan uang limaratusan, dan ditumpuk jejer tiga keatas, tingginya lebih dari
Monas. Banyak sampe pusing.
Di Amerika Serikat, gaji untuk tukang sampah rata-rata sebesar US$40.000
dalam setahun, sekitar lima ratus juta. Karena apa? Mulia, Malih. Di negeri ini
memang belum sebesar itu, apalagi kalo masih berteduh dibawah payung dinas
kebersihan, tukang sampah jalanan bisa apa selain osrek-osrek sepanjang jalan
saat pagi buta. Pemerintah belum cukup punya kemauan untuk memberi upah bombastis
untuk pekerja sampah. Jangan berkecil hati, jadi pengusaha sampah lebih baik
karena tidak terikat dengan pemerintahan. Berdikari dan cukup menikmati
apresiasi jika diberikan. Kalo gak diapresiasi, ya, tetap semangat.
Dengan memberikan referensi tukang sampah sebagai cita-cita, secara tidak
langsung orang tua sudah mendaftarkan anaknya secara tersirat untuk menjadi
anggota dari aktivis lingkungan yang tidak kenal lelah melawan kehancuran. Dan
yang paling jelas, pendidikan lingkungan sudah dimulai sejak dini ketika
menjadi tukang sampah ditambahkan menjadi pilihan untuk sang anak. Profesi
sebagai tukang sampah adalah ibadah. Karena kebersihan sebagian dari iman. Namun,
bukan berarti dengan jadi tukang sampah gak perlu lagi ke masjid, bukan, bukan
gitu.
Pekerjaan sebagai tukang sampah
mungkin masih dianggap remeh. Tapi keren. Percaya deh, lagi musimnya peduli
lingkungan.
Profesi sebagai tentara, dokter, polisi, insinyur, tukang ledeng, petani,
pedagang atau pejabat negara memang menggiurkan. Tapi menjadi tukang sampah
juga perlu dipertimbangkan, memberi banyak pilihan kepada generasi penerus
beserta peluangnya, dan manfaat yang ditimbulkan ketika menjaga lingkungan juga
harus disampaikan.
Sampah bukan hanya masalah uang, tapi tentang bagaimana kita bisa meneruskan
cerita kepada generasi mendatang bahwa ada bumi yang perlu dijaga masa
depannya. Jika tidak dimulai dari hari ini, mungkin lima puluh atau seratus
tahun lagi, anak-anak desa sudah kehilangan kedesaannya. Tidak bisa lagi
menikmati segarnya udara di bawah pohon randu, memancing ikan di sungai dengan
tegek bambu atau membasuh wajah dengan air tuk yang keluar dari pohon gayam.
Semua sudah rusak, ikan-ikan sudah pindah ke akhirat. Salah siapa? Salah kita yang
tidak berhasil menjaga lingkungan. Salahku, yang menyuruh anakku, tidak
mengajari keturunanku tentang sampah. Tapi jadi pengusaha sawit dan tambang.
Posting Komentar untuk "Tukang Sampah juga Cita-Cita"