Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jakarta dan Sukab



Sabtu yang terik setelah lebaran, sepuluh hari setelah hari raya, namun perayaan seperti belum selesai. Ya, rasanya seperti itu. Di jalan masih ramai, kapal penuh, kereta padat. Semua moda transportasi umum dipenuhi oleh orang-orang yang (katanya) pulang sebentar untuk melihat kampung halaman.

Saya juga seperti mereka, kembali dari pulang yang sebentar. Dan perjalanan menjadi film panjang yang terus tayang seperti tidak ada habisnya. Di sebuah tangga arah turun dari Pelabuhan Merak menuju Stasiun Merak, ada sebuah spanduk yang bertuliskan: Akses jalan keluar masuk stasiun. Dilarang berjualan dan tidur-tiduran. Saya menunggu kereta sambil duduk. Tidak berjualan, dan tidak tidur tiduran. Jadi, saya merasa tidak melanggar sama sekali.

Di mana tempat ramai, di situ ada peluang. Sebuah prinsip yang dipegang teguh orang Indonesia, terutama pada sektor perdagangan kelas asong. Beri imbuhan (an) agar tidak dikira salah ketik. Asongan. Asing dan aseng sedang sensitif di negeri ini. Jadi sebuah pemakluman jika tangga menuju Stasiun Merak adalah tempat yang strategis untuk para pedagang asong menjajakan dagangannya.

Di tangga lain di tempat yang sama, ada perempuan kecil yang saya duga usianya belum genap tujuh tahun. Baru belajar membaca dan mengeja apa saja. Anak tersebut duduk di bawah ibu-ibu yang menjual kopi saset, pop mie, dan rokok ketengan.

Dengan perlahan; de-idi, el-ala, er-ara, eng. Dilarang, dan seterusnya. Cara mengeja kolot yang sudah digunakan sejak Ibu Budi dan Bapak Budi masih remaja. Setelah rampung dia mengeja seluruhnya, terbilanglah: Dilarang berjualan dan tidur tiduran. Tidak dibaca semua, tapi perempuan kecil itu sudah bisa menangkap maksudnya.

Matanya melirik ibu-ibu penjual kopi saset, pop mie dan rokok. Mereka saling pandang. Dan perempuan kecil itu mendapat balasan senyum yang menjabarkan segalanya. Tentang kehidupan orang menengah kebawah, perjuangan untuk tetap bisa makan, tumbuh, berkembang dan melanjutkan hidup.

Kelak dia paham.

***

Sebelum sampai sampai di Yogja, saya lebih dulu singgah di Depok. Menemui seorang guru yang tidak sempat mengajar saya di kelas. Beliau menyampaikan ilmunya lewat telepati dan tutur, tentang hidup, kehidupan, mati, dan isi semesta. Sedikit dilebihkan guna membangun karakter yang super, agar persis seperti yang ada di kepala saya.

Bersama Dinosaurus Betina, saya menyusuri Jakarta beserta kesibukannya. Mencoba mencari makna tentang orang-orang yang rela pulang malam demi membesarkan usaha yang bukan miliknya. Berkerja penuh waktu demi materi yang juga tak ada cukupnya. Pemikiran saya belum sehebat itu. Belum sampai pada tahap: uang adalah kebahagiaan.

Ya, sebegitu rumitnya Jakarta sehingga tak ada yang bisa saya dapatkan selain merenungi diri sendiri yang tidak seperti kebanyakan orang. Depok menyambut saya dengan hangat.

“Eh, Son. Lu kenal Seno? Seno Gumira.” Tanya Bu Lala.

“Tau, tapi belum pernah ketemu. Gimana?”

“Nih, gw ada bukunya. Tokohnya, Sukab. Mirip elu.”

“Hah?”

Bu Lala mencoba menjelaskan siapa Sukab, siapa Seno, dan siapa saya sebenarnya. Sebuah korelasi yang kurang masuk diakal jika disandingkan dengan tokoh seperti mereka. Tapi tak apa, saya masih menyimpan penasaran siapa Sukab sebenarnya.

Obrolan tentang Sukab, Larantuka, Papua, sagu, gaharu, sampah, resign, Sumbawa, sepatu roda, semua hal. Tentang Sukab, di ceritakan jika Sukab adalah tokoh yang dibangun Seno dengan ke-betawi-an yang  mengada ada dan fasih. Pekerja kasar, menggantungkan hidup pada cangkul dan pengki. Member tetap dari warung pinggir jalan yang dikelola Mang Ayat. Bersahabat dengan tukang kopi saset, istri tukang kopi saset yang berkerja sebagai tukang sapu di gedung tinggi, kernet mikrolet dan beberapa tokoh lain. Nanti akan saya bahas tentang Sukab. Bukan sekarang. Nanti, ditulisan lain. Semoga berikutnya.

(Pembaruan: ini link Obrolan Sukab | Seno Gumira Ajidarma)

Setelah mendapatkan penjelasan tentang Sukab, saya mulai membaca sedikit. Beberapa lembar awal dan lembar-lembar selanjutnya ternyata memiliki hubungan dengan perempuan kecil yang saya lihat saat menunggu kereta sore sebelumnya. Cocokologi ditambah ilmu sotoy, sih. Saya lebih dulu menyaksikan perempuan kecil itu mengkritik lingkungan sekitar dengan caranya, lalu saya diberi buku oleh Bu Lala yang isinya kritik sederhana dengan latar kehidupan kelas bawah. Lalu, Sukab ini apa?

Saya menduga, semesta punya caranya sendiri menyambungkan semua yang tak terhubung untuk saling mengisi dan menjadi satu rangkaian. Buat saya, Sukab adalah kepekaan terhadap sekitar, yang membenarkan sesuatu bukan berdasarkan salah. Sukab ada di banyak tempat. Sukab milik Bu Lala, milik saya, atau milik Pak Seno. Siapapun memiliki Sukab pada dirinya masing-masing. Sebuah imajinasi untuk mengkritisi keresahan dengan ringan tanpa kerusuhan. Hidup Sukab!

Terima kasih bukunya, terima kasih sudah membaca.

Posting Komentar untuk "Jakarta dan Sukab"