Wasit Sawit
Sedang berusaha memahami keputusan pemerintah menutup pintu ekspor CPO dan licinnya permainan pengusaha sawit yang berakibat work, life, trampolin bagi petani.
Indonesia adalah negara dengan perkebunan sawit terluas di dunia. Di atas kertas, dalam catatan Kementrian Pertanian, total luasan sawit di Indonesia mencapai 15,1 juta hektar pada tahun 2021. Saya ulangi 15,1 juta hektar, itu yang tercatat. Belum termasuk ekspansi lahan yang tidak terdaftar yang merenggut lahan-lahan taman nasional, hutan lindung dan cagar alam.
Dari juta-juta tersebut, kabarnya 41 persen lahan tadi dimiliki masyarakat, sisanya dikuasai pengusaha swasta yang (semoga saya salah) ternyata juga menguasai 41 persen milik masyarakat melalui sistem yang mereka buat. Syahdu betul. Terus anak petani sawit sebelah kantor bilang, “iya, lahannya beneran punya bapak saya kok, dua hektar.”
Buntut dari keputusan pemerintah yang menutup ekspor sawit langsung terasa di jalanan. Truk-truk pengantar TBS (Tandan Buah Segar) hanya pergi ke pabrik, tapi tidak kembali lagi ke kebun. Loh, kenapa? Truk hanya terparkir di area pabrik, tidak bisa membongkar muatannya karena pabrik membatasi pembelian, bahkan ada pabrik yang menutup diri, sama sekali tidak menerima buah hasil petani.
Seminggu lalu, harga sawit di Sumatera menyentuh harga 2.500-3.200 per kg. Pasca pengumuman Pak Presiden, harga tersebut langsung terjun bebas, kabar terakhir yang saya baca, harga sawit hanya 1.800. Bukan tanpa alasan. Opini saya, pengusaha sedang memaksa para 41 persen tadi (masyarakat) untuk menangis dan mensomasi pemerintah.
Dari berbagai sumber yang saya baca, kebutuhan pemenuhan CPO dalam negeri hanya 20 persen, 80 persen sisanya merupakan komoditas ekspor. Pun, kebijakan tersebut merupakan aturan pemerintah, agar pengusaha tidak ugal-ugalan jual semua. Jika dinominalkan, dalam satu tahun ada uang masuk ke Indonesia sebesar 333 triliun dari hasil jualan sawit. Andai kebijakan tersebut berjalan satu bulan, maka negara akan kehilangan sekitar 27 triliun dalam satu bulan. Ibarat memburu tikus di dapur, tapi yang dibakar rumahnya.
Tunggu dulu, tiga ratusan triliun tadi cuma mampir saja di Indonesia. Yak, kebun sawit yang ada di tanah dan merusak air ini mayoritas dimiliki oleh negara tetangga. Tebak!
Saya rasa pemerintah sudah lebih rinci mempertimbangkan hal tersebut. Kehilangan 27 triliun bukan angka yang kecil. Tapi konversi hutan jadi lahan sawit juga kerugian yang besar. Kita kehilangan ekosistem, bukan sekedar rimbunan hijau.
Apakah ini bagian dari upaya pemerintah mengurangi dominasi sawit asing dan deforestasi hutan? Ya gak tau juga.
Apakah matinya tiga harimau di Aceh, konflik di Sumut, Sumbar dan Jambi juga rangkaian buntut panjang licinnya minyak goreng?
Kalau pertanyaan kamu masih seputaran “kenapa minyak goreng sempat langka dan mahal,” mendingan diselesaiin dulu baca berita di media yang penuh banget iklannya itu.
Udah tau minat baca rendah, naro iklannya malah kayak buang sampah. Sembarangan!
Posting Komentar untuk "Wasit Sawit"