Di Surga, Gelap Masih Ada | Cerita Papua
Benar,
sesuai dengan yang kukira, gelap datang lebih dulu sebelum lampu menyala.
Beberapa kunang-kunang di halaman menandakan petang sudah sampai, derik
jangkrik dan sorot mata burung malam
memberi sedikit informasi jika listrik terlambat datang lagi malam ini.
Sore tadi, baru saja kami sampai di Asset, sebuah kampung yang terletak di
pinggir sungai Edera, aliran yang menjadi sungai saat musim kemarau, namun
menjadi rawa yang luas saat penghujan datang. Kampung Asset adalah ibu kota
Distrik Syahcame, dihuni 680 jiwa dan masih belum terang.
Sedikit
perbincangan sore itu memberi banyak informasi, terlebih permohonan maaf Pak
Beni karena listrik tidak menyala 24 jam. Seperti tertampar oleh keramahan, di
Asset belum ada jaringan listrik, hanya kantor pelayanan dan rumah Kepala
Distrik yang menyala, pun aku sudah menduga sejak awal jika listrik tidak akan
hidup untuk waktu yang lama. Sebagai antisipasi, setiap tim yang berangkat ke
lapangan dibekali baterai dengan kapasitas yang besar untuk pengisian daya
selama bertugas ke kampung-kampung di pedalaman Papua.
Bang
Beni adalah Sekertaris Distrik Syahcame, menolak dipanggil bapak karena usianya
belum kepala tiga. Beliau merupakan putra daerah yang melanjutkan pendidikannya
di STPDN danmenamatkan S2-nya disalah satu perguruan tinggi di Bandung. Dia
seperti idola baru untukku. Pergi jauh untuk belajar dan pulang untuk membangun
kampung halaman.
Di
iringi gemuruh disel, balai kampung malam itu terasa padat, lampu menyala
mengikuti irama dentuman mesin. Warga berkumpul dalam waktu yang singkat,
informasi kedatangan kami begitu cepat menyebar, biarpun langit dirundung mendung, gerimis
turun perlahan membasahi tanah. Kami `Tim Ekspedisi Papua Terang’ disambut dengan
senyum yang sumringah, seperti ada titipan harapan di dalamnya. “Semesta
merestui,” hanya itu yang mampu kukatakan dalam hati. Tak butuh waktu lama
untuk akrab, perkenalan kami dengan warga Asset banyak dibantu oleh Bang Beni,
dia menjelaskan secara rinci maksud dan tujuan kedatangan kami, dengan bahasa
yang sederhana, lugas dan jelas. Aku jarang menemui orang seperti Bang Beni.
Dari kacamataku, dia adalah pemuda yang memiliki segalanya, termasuk kasih
sayang dan cinta dari warga sekitar. Bang Beni banyak menghabiskan waktunya
untuk menjelajah semua kampung di Distrik Syahcame, mendengarkan seluruh
keluhan dan berusaha merealisasikan apa yang menjadi keinginan masyarakat.
Untuk urusan dana desa, tata tertib aparatur kampung, dan pelayanan kesehatan,
beliau terkenal sebagai pribadi yang galak. Wajar saja, menyangkut hajat orang
banyak.
Tepuk
tangan berarti setuju, begitu cara orang-orang merayakan kesepakatan. Isyarat baru yang aku
ketahui selama di Papua. Kami tak pernah lupa membahas kesediaan warga untuk
menyediakan lahan sebagai tempat untuk berdirinya pembangkit listrik, termasuk
kerelaan warga jika pohonnya dibuat tumbang agar tidak menghalangi kabel yang
kelak akan dipasang. Biarpun tidak semua mulus sesuai rencana. Berkumpul,
berbincang dan tepuk tangan adalah bagian yang paling menakjubkan. Aku selalu
suka dan akan terus ingat hal itu. Terasa teduh, mungkin puncak kepuasanku
berada di sana, di antara tepuk tangan. Meskipun listrik tidak langsung menyala, paling tidak, aku dapat
menyaksikan senyum dan tawa anak-anak yang kelak akan melihat kampungnya terang
dengan seluruh pembangunan dimasa yang akan datang.
“Buka
hati, buka pikiran, sambut pembangunan,” kata-kata yang tak pernah luput
disampaikan oleh Bang Beni. Seperti senjata pamungkas sebagai penutup dari
perbincangan dengan warga kampung, setelahnya tepuk tangan diakhiri dengan
tandatangan. Sepakat!
“Mereka
tidak hidup dalam keterbatasan, namun pikiran kita yang membatasi,” sedikit terdengar
mengganjal, namun seperti itu caraku mengagumi orang-orang yang mampu bertahan
dalam situasi yang sering kusebut sebagai ‘keterbatasan’. Selama di pedalaman aku
tak pernah menggunakan uang. Kami dijamu dengan sangat baik, tapi sebisa
mungkin aku ingin meniru warga sekitar, berburu untuk makan malam, atau ikut
pergi keladang memetik sayuran yang mereka tanam. Alasan pelengkap lainnya, di
kampung tidak ada warung. Aku sempat terheran-heran dengan ketangkasan
orang-orang di pedalaman Papua, bukan hal baru untukku, sebelumnya aku pernah
mendengar bagaimana cara mereka mendapatkan buruannya, dari cerita warga di
kota, juga dari sosial media. Tapi aku tidak percaya begitu saja sebelum ikut
dan menyaksikan langsung prosesnya. Benar, ‘dorang
kejar cabang pakai parang saja’. Cabang adalah sebutan untuk pejantan rusa
yang sudah dewasa dan memiliki tanduk serta ukuran badan yang besar. Sebagai
pemuda yang mengerti berburu hanya dari kisah, aku cuma bisa terdiam, tak ikut
ambil andil dan lebih memilih untuk sadar dan mawas diri pada kemampuan diriku.
Mereka berlari tanpa alas kaki, menerjang rerumputan tinggi lalu hilang di
dalam hutan. Ah, mereka luar biasa. Manusia dengan kekuatan super yang pernah
kujumpai di dunia nyata.
Aku
melewati banyak leg untuk sampai ke
kampung-kampung di Papua, jet leg, bus leg, boat leg, tidak ada satupun yang menyenangkan, namun aku bangga,
setidaknya aku pernah merasakan berbagai macam leg dalam satu perjalanan. Terbang dari Jakarta menuju
Merauke, duduk di bus selama sembilan jam dan
terombang ambing menyusuri sungai Digul. Untuk sampai ke kampung Bade, kami melewati
jalan Trans Papua, kali ini aku merasa setara dengan Presiden Republik
Indonesia, Pak Jokowi juga pernah melalui jalan Trans Papua, rute yang sama,
persis seperti yang aku lewati waktu itu, bedanya beliau naik motor, dan aku duduk
santai di belakang pengmudi. Banggaku sempat melambung tinggi sebelum baju putih
yang aku kenakan berubah menjadi coklat pekat khas debu tanah. Seluruh
permukaan jalan belum teraspal, tanah merah kering dan bergelombang
menghasilkan debu yang luar biasa buas, saat itu Elf yang aku tumpangi
kebetulan tidak ber-AC, hanya ada ventilasi sebagai sirkulasi udara, jika
jendela dibuka, percuma. Bukan udara segar yang didapatkan, tapi debu tebal
yang siap hinggap dan menerobos masuk ke kerongkongan. Jahat. Setelahnya kami masih
harus naik boat untuk melanjutkan
perjalanan, menikmati naik turun gelombang air sungai. Lagi, Papua tak pernah
habis memberiku kejutan.
Kabupaten
Mappi terkenal dengan julukannya sebagai ‘kota sejuta rawa’. Memiliki luas
wilayah 28.518 km² tanpa ada akses darat untuk mencapai daerah-daerah yang
di bawahinya. Perahu adalah moda transportasi andalan di wilayah ini. Bahkan
antar kampung yang jaraknya tidak begitu jauh tetap harus di akses melalui
jalur air. Aspal hanya ada di Kota Kabupaten, di kampung jalan terbuat dari
papan yang disusun sejajar, beberapa ada yang sudah menggunakan jalan beton,
dan sisanya tanah bergelombang. Mata pencaarian warga kampung masih belum
bervariasi, di daerah yang aku kunjungi hanya ada dua jenis pekerjaan, bertani
dan nelayan. Pekerjaan lain seperti pedagang kios kebanyakan diisi oleh
pendatang. Aku rasa semua orang di Kabupaten Mappi piawai berenang, kecuali
anak-anak yang baru keluar dari rahim ibunya. Sejak kecil sudah terlatih untuk
menghadapi dunia yang keras, seperti keharusan untuk tetap bisa tumbuh dan
berkembang menjadi kuat dan hebat.
Di
setiap kunjungan survey ke kampung, manusia pertama yang aku sapa adalah
anak-anak, mereka selalu berdiri digarda terdepan, berbaris rapi dengan sorot
mata tajam di bibir pelabuhan. Kami selalu disambut dengan harapan anak-anak
yang ingin desanya lekas terang. Aku menyukai mereka, terasa seperti reuni
dengan masa kanak-kanaku, terlebih saat mereka mulai berkerumun untuk mengantri
jatah gula-gula (permen). Sekali waktu aku tak bisa membendung air mataku saat
berbagi cerita dengan mereka, anak-anak di pedalaman Papua. Aku berusaha menyampaikan
manfaat listrik dengan cara yang sederhana dan mudah untuk mereka mengerti,
sesederhana mungkin agar bahasaku tak asing untuk bocah yang baca tulis saja
belum begitu lancar, rata-rata usia anak SD yang pergi ke sekolah jika gurunya
datang. Ku ceritakan pengalaman ‘kesetrum’ pada mereka, kebetulan dulu saat
kecil aku pernah tersengat aliran listrik, kuceritakan secara rinci, wajah lugu
dan rasa ingin tahu tak bisa mereka sembunyikan. Seketika aku berhenti
berbicara saat salah satu anak memotong pembicaraanku.
“Kaka,
setrum de pu rasa apa kah?” Tanya salah satu anak tanpa baju yang aku lupa
siapa namanya. Pertanyaan sederhana yang tak bisa kudeskripsikan jawabannya.
“Kalo
listrik kecil, de pu rasa geli saja, kalo listrik de pu kekuatan besar, nanti
ko bisa goyang, macam turun naik itu sudah”
mereka tertawa meriah, aku menjawab sekenanya saja, ku sambar dari
pintasan tercepat yang ada di otakku. Meskipun logat Papuaku tidak begitu baik,
paling tidak, mereka paham yang aku ucapkan.
“Kaka
bawa listrik ka tidak? Sa mau rasa.” Sahut anak lainnya.
“Ah,
belum adik, kakak bawa gula-gula saja. Ko berdoa toh, biar nanti bapa dorang
bisa cepat antar ko punya listrik.” Mereka tersenyum dengan raup wajah yang
sedikit kecewa.
Entah
kenapa, waktu itu aku seperti tersambar petir tepat di ubun-ubun, seperti ada
yang mengoyak dan menuntut untuk dilepaskan. Pada kenyataannya, aku bukanlah
pria yang hebat menahan air mata, bukan sosok pemuda yang kuat menyembunyikan
kesedihannya, dimataku air sudah terasa menggenang. Siap meluncur bebas, terjun
membasahi tanah yang haus akan pengetahuan.
Tak ada air mata yang ku seka, biar.
Aku rela jika harus menjatuhkannya, ternyata sesederhana ini rasa patah hati,
hanya kerena listrik dan kepolosan anak-anak yang tak pernah tau rasa tersetrum
seperti apa. Sedari pertama kali aku sampai di bumi, terang sudah ada, aku
sudah sejak lama menyaksikan lampu menyala, pemutar musik, saklar, kipas angin,
dan puluhan jenis elektronik lainnya. Sementara dibagian lain di bumi yang
sama, masih ada yang tak pernah tau rasa setrum seperti apa. Pun aku tak
berharap ketika listrik nanti benar menyala mereka akan mencoba tersengat
alirannya, semoga himbauanku masih terekam baik di pikiran mereka, kecuali rasa
penasaran mereka lebih tinggi dari dugaanku sebelumnya.
Perjalanan
yang jauh, medan yang sulit, debu dan sengat panas matahari, semua lelah seolah
runtuh pergi melenggang saat senyum dan tawa pecah dalam pergumulan. Bahagia
yang tak pernah bisa dilukiskan lewat kata-kata. Paling tidak, ada satu hal
yang paling aku ketahui tentang Papua; tulus.
Mereka
awam akan kemewahan, tapi mereka kaya akan kasih sayang. Memberi bukan karena
ingin diberi, tapi mereka paham makna berbagi. Banyak orang mengira sifat
mereka keras, ternyata belum banyak yang tau, maksud baik dengan cara yang
iklas.
Tak banyak yang bisa aku tunjukan,
tak banyak yang bisa aku berikan, aku selalu memiliki keyakinan jika aku dan
mereka adalah daging yang sama, memiliki harapan yang sama, selalu berusaha
menjadi lebih baik. Mungkin jika bisa memilih sebelum dilahirkan, mereka akan meminta
tetap di surga, atau di kota yang gemerlap dan serba ada. Sayangnya, aku tak
pernah mendengar mereka mengeluh, soal tegar, aku harus banyak belajar.
Papua
adalah surga yang harus kita jaga. Hamparan keindahan dengan kekayaan dengan
jumlah tak terbatas.
Aku
sangat bangga bisa merasakan ketulusan di sana, apa yang telah mereka berikan, tak
pernah dianggap sebagai pengorbanan. Kelapa yang ditebang, hadiah ayam untuk
santap malam, dan sambutan hangat setiap kami berkunjung ke kampung. Semua
mengalir begitu saja seperti deras pasang surut air di sungai Digul. Terkadang,
berucap sampai jumpa menjadi kalimat paling berat untuk dikatakan, lambaian
tangan dan teriak dari kejauhan menjadi cambuk yang menyayat hati dan perasaan.
Terasa berat untuk angkat kaki dari nyamannya kasih sayang. Biarpun perpisahan
selalu menyedihkan, setidaknya kita masih berada di bumi yang sama, meresakan
oksigen yang sama, dan memandang langit yang sama. Aku, kamu, dia dan mereka
adalah kita. Berbeda untuk saling menguatkan, sebagai pelangi yang muncul saat
hujan reda.
Terima kasih
telah menjadi guru yang baik, memberikan pelajaran yang tak pernah aku dapatkan
di ruangan, Papua memberikanku segalanya, termasuk anggapan baru mengenai
kehidupan, semoga kelak kita dipertemukan lagi dengan kondisi yang berbeda, keadaan
yang jauh lebih baik, namun tetap dengan cita-cita yang sama. Membangun negeri
dan menyaksikannya terus berjaya.
Sampai jumpa!
~Son Owl
Posting Komentar untuk "Di Surga, Gelap Masih Ada | Cerita Papua"