Malaikat yang Bertambah Usia
Aku rasa, semua berhak mengibaratkan apapun yang diinginkan, termasuk hal sakral sekalipun. Memberi istilah baru pada kumpulan makna yang yang luas.
Setiap manusia memiliki keinginannya masing-masing, termasuk menjadi besar dan tumbuh dewasa. Waktu terus berjalan tanpa memberi ampun pada proses yang semestinya dapat berjalan beriringan. Terkadang, kesempatan untuk dapat sejajar pun terlewatkan, waktu lebih cepat berlalu dari pada dewasa yang nampak begitu halu.
Sebagai seorang manusia yang masih hidup, aku sangat bangga karena telah dilahirkan dengan niat dan ketulusan. Aku yakin kedua orang tua ku melakukan proses yang menyenangkan sampai akhirnya air hina yang keluar dan hinggap di rahim menjadi segumpal darah, membesar, bertumbuh dengan tulang rapuh namun saling menguatkan, bosan di rahim dan memilih untuk keluar, melihat betapa fananya dunia dengan tangisan. Aku lupa tangisan apa yang aku lakukan saat pertama kali sampai di dunia. Gembira atau duka, perayaan atau penghakiman, setidaknya kelahiranku menambah warna baru di keluarga kecil yang saat itu baru saja memiliki dua anak.
Tidak ada perumpamaan lain yang bisa aku gunakan untuk menjelaskan betapa hebatnya Ibu dimataku. Wanita yang rela menahan rasa sakit untuk anaknya, wanita yang rela tidak tidur untuk anaknya, wanita yang rela lapar untuk anaknya, hebatnya; dia tidak pernah menganggap semua hal yang menurutku hebat sebagai bentuk pengorbanan. Mengalir dengan ikhlas, dia hanya melakukan apa yang harus dia lakukan, tanpa pamrih dan menuntut balasan.
Aku bukan anak yang tenang, membuat Ibu khawatir dan lelah sudah menjadi hobiku, dulu, aku sering bersilaturahmi ke semua rumah tetangga, sekedar berbincang atau duduk diam mengamati yang apa mereka lakukan, aku paling suka melihat orang memasak.
Seperti orang dewasa pada umumnya, mereka selalu menanyakan apa yang sedang terjadi di rumah. Menanyakan apa yang sedang Ibu atau Ayah lakukan, basa-basi membuka obrolan.
Sekali waktu, aku pernah ditanyai oleh pentolan ibu-ibu komplek yang aku hampiri rumahnya.
"Dirumah, Ibu lagi apa?" tanya tetanggaku.
"Kayaknya lagi pada masak-masak deh, mau ada arisan mungkin" jawabku sekenanya.
Tak butuh waktu lama, sore hari rumahku sudah ramai, ternyata tetanggaku dengan sigap menyebarkan informasi yang belum jelas kebenarannya. Maklum, komplek dimana aku tinggal merupakan sarang dari organisasi terselubung dimana anggotanya adalah ibu-ibu yang doyan rumpi, mereka sering mengadakan perkumpulan dadakan untuk membahas apapun yang menurut mereka penting, terkadang juga menggunjing.
Mereka datang dengan pakaian yang rapih dan mengenakan baju yang terbaik, perhiasan, tas yang dikempit, jam tangan dan aksesoris khas ibu-ibu komplek. Sementara, ibuku bingung bukan kepalang, dia keluar rumah dengan keadaan lusuh dan belum mandi, bingung kenapa wanita-wanita komplek yang jelita berada di rumahnya.
Ternyata, anaknya sendiri yang menjadi pelaku utama. Bodohnya, aku pulang dalam keadaan rumah masih ramai, pun aku lupa jika siangnya membuat pernyataan bahwa dirumah ada kumpul arisan, alhasil aku menjadi bulan-bulanan masa, di sidang oleh ibu-ibu yang merasa gemas dan tertipu karena sudah bersolek untuk menghadiri acara, bukan untuk suaminya
Diantara ibu-ibu yang kesal, hanya ibuku yang mampu tersenyum. Meminta maaf atas kelakuan anaknya, toh saat itu aku tidak merasa bersalah, juga tidak merasa melakukan kesalahan. Aku hanya bilang 'mungkin mau ada arisan' tanpa validasi, berita tersebut langsung disebarkan. Siapa yang salah?
Aku sempat mengira jika malam harinya ibu akan marah, ternyata aku salah.
Ibu adalah pemaaf, tanpa diminta dia sudah memberi maafnya lebih dulu. Aku tak pernah menang dalam hal maaf dengan ibu, dia selalu unggul.
Beberapa hari yang lalu, Malaikatku bertambah usia. Aku lupa berapa umurnya sekarang, di keluargaku, ulang tahun bukan menjadi hal yang utama, hanya menjadi selingan jika ingat, datar tanpa perayaan. Dari bayi sampai sebesar ini, aku belum pernah merasakan perayaan disetiap bertambahnya umurku. Hanya ucapan dan doa yang biasanya mereka sampaikan.
"Umur bukan bertambah, tapi berkurang. Tidak ada yang perlu dirayakan."Filosofi tersebut selalu dipegang teguh oleh ayahku, menular ke ibuku, dan diajarkan ke ketiga anaknya. Semua anak ayah dan ibu sudah terbiasa. Kami tak pernah menuntut apapun saat ulang tahun, biarpun terkadang tetap ada bingkisan kecil sebagai kenangan hari lahir.
Sejauh ini, aku sangat berterimakasih kepada Tuhan karena sudah memilihkan Ibu yang tepat untukku, Ibu yang ideal untuk mendidikku, Ibu yang selalu tersenyum dalam kondisi apapun, Ibu yang sangat sabar menghadapi anaknya yang ngawur.
Aku hanya berharap kedua orangtuaku selalu sehat, selalu jadi malaikat dan pengingat. Menjadi mereka bukan hal yang mudah, kelak suatu hari aku akan merasakan hal yang sama, jelas tidak dalam waktu dekat. Masih banyak yang harus aku cari dan ceritakan. Semoga mereka masih ada, melihat semua kelakuan anaknya, dan tersenyum.
Terimakasih semangatku
~Son Owl
Posting Komentar untuk "Malaikat yang Bertambah Usia"