Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dilema Menjadi Anjing, dan yang Lebih Najis dari Liurnya.


Berawal dari beberapa pekan lalu, dengan sadar dan sengaja saya mang-upload foto Jeko ke story Instagram. Jeko adalah anjing yang dibeli teman saya di pasar hewan paling terkenal seantero Jogja, bukan dibeli, tepatnya diselamatkan dari agen sengsu yang siap menjadikan Jeko sebagai bahan utama untuk dihidangkan.
Beberapa menit setelahnya ada pesan masuk, menanggapi postingan saya tentang Jeko, si anjing binal, nakal dan ngacengan. Pesan tersebut datang dari orang terdekat dalam hidup saya, silahkan dipikir sendiri. Identitas sengaja dirahasiakan agar menjadi sebuah misteri yang kelak akan terpecahkan oleh rasa penasaran. Hahah.
Kurang lebih isinya gini, “eh, kok lo miara anjing sih? Najis tau!”  tanpa banyak pertimbangan, saya balas pesan kejam tersebut dengan kalimat singkat. “Gapapa najis fisik, yang penting hatinya suci!”. Seolah saya menjadi orang paling benar saat itu, runtutan balasan demi balasan lain menyusul, menghujam tajam membawa petaka dan dendam. Pokokmen tsadis deh.
Sambil ngelus dada, saya berdoa dan bertanya dalam hati. Tuhan, emang anjing diciptain untuk dihina dan diolok sebegitu ngerinya kah? Masa iya gitu adanya? Kenapa? Dan puluhan pertanyaan lain yang terus menghantui saya, setiap hari hilir mudik di kepala. Tuhan gak ngasih jawaban langsung, gak tau kenapa.
Perlahan saya mulai melupakan pikiran jahat tentang anjing, sayangnya proses melupakan tak pernah semulus tangan artis di iklan hand and body lotion. Sementara ingatan mulai ingkar, datanglah teman lain berkunjung ke rumah sewa yang saya tinggali beserta anjing dan majikannya. Eh ada anjing, ucapnya sambil menurunkan standar samping motor yang dia bawa. Saya tau dia takut anjing, dengan sedikit inisiatif, saya langsung meraih Jeko buru-buru. Insting Jeko ketika lihat wanita datang ya langsung agresif, sampai saat ini saya masih bingung dengan pola ngacengan Jeko. Setelah si anjing nakal dan binal berhasil dirantai, saya langsung menghampiri teman yang mulai terganggu dengan gaungan Jeko.
Layaknya menyambut tamu yang baru saja datang, jabat tangan adalah ritual yang biasa saya lakukan. Senyum, sapa, salam. Basa basi dikit seperti orang Indonesia pada umumnya.
Saya ulurkan tangan kanan, maksud hati ingin mengajak bersalaman. Ternyata uluran tangan saya dibiarkan menggantung begitu saja. Sambil meringis, saya bertanya pelan, takut najis ya? Hehe. Dahinya sedikit menyerit dengan tatapan tajam, ada sedikit senyum di bibirnya, seperti sebuah penjelasan. Pun tanpa dia menjawab, saya sudah lebih dulu membuat kesimpulan. Kamu suci aku penuh noda, dosa dan najis.
Penolakan untuk berjabat tangan seperti menjadi puncak dari segalanya, ada apa dengan orang-orang? Ada apa dengan anjing?
Saking penasarannya, saya coba-coba cari referensi tentang najisnya si anjing. Setelah berselancar cukup lama, buka tutup beberapa kajian ilmiah dan baca hadis tipis-tipis. Saya memberanikan diri untuk membuat kesimpulan begini, yang najis itu liur dan kotorannya, bukan anjingnya.
Anjing adalah hewan yang tidak menghasilkan keringat layaknya manusia, atau hewan jenis primata seperti kera. Panas tubuh anjing dikeluarkan lewat nafas, membuka mulut dan menjulurkan lidah. Jika anjing tidak melakukan ritual ini, maka akan Heat Stroke. Kondisi dimana suhu tubuh mencapai  40 drajat atau lebih. Suhu yang sangat panas didalam tubuh akan menyebabkan kerusakan pada organ internal anjing, lumpuhnya otak dan mati.
Alasan kanjeng nabi menajiskan anjing bukan tanpa sebab. Selain wahyu yang disampaikan Tuhan. Penelitian yang dilakukan pada liur anjing ternyata mengandung pantogen, yaitu agen biologis yang menyebabkan penyakit pada inangnya, memiliki ukuran yang sangat mikro dan tidak bisa dinikmati dengan mata telanjang.
Rabies menjadi salah satu penyebab meninggalnya 60.000 orang setiap tahun. Infeksi gigitan bisa terjadi akibat membaurnya bakteri yang ada di rongga mulut anjing dan permukaan kulit manusia.
“Bersihkan bejana/wadah kalian yang telah dijilat anjing dengan mencucinya sebanyak tujuh kali dan salah satunya dengan debu” ~sabda Rasulullah SAW
Kenapa harus pakai tanah? Kenapa bukan sabun yang udah jelas ada anti septiknya?
Jadi gini, tanah mengandung unsur yang dapat membunuh kuman, namanya tetracycline dan tetrolite. Mereka merupakan antibiotik alami yang mampu membunuh kuman dalam liur anjing. Juga ada penelitian lain yang membuktikan khasiat tanah, dilakukan pada komplek kuburan yang terinfeksi virus jahat. Ternyata, gak ditemukan satupun virus yang berbahaya pada tanah meski ada banyak jasad yang terinfeksi di dalamnya. Tanah memang war biyasak!
Kisah Abu Yazid dan seekor anjing selalu terngiang di kepala saya. Di tengah perjalanan malamnya, Abu Yazid bertemu dengan seekor anjing. Dengan sigap diangkatlah gamis miliknya dengan maksud agar tidak terkena najis si anjing.
Tiba-tiba anjing berhenti dan memandangi Abu Yazid. Atas kuasa Allah, Abu Yazid dapat mendengar anjing tersebut berbicara:
“Wahai Yazid, tubuhku ini kering, tidak akan menimbulkan najis kepadamu. Jika pun terkena najisku, engkau tinggal membasuhnya 7x dengan air dan tanah. Maka najisku akan hilang, namun jika engkau angkat gamismu, karena berbaju manusia, merasa lebih mulia dan menganggap aku hina, maka najis di dalam hatimu tidak akan mampu terhapus walaupun kau bersihkan dengan air dari 7 samudera”.
            Saya dan teman saya si pemilik anjing, muslim. Niat utama memelihara anjing bukan karena mereka lucu dan menggemaskan. Tapi karena kami ingin menyelamatkan si anjing dari ancaman depresi mental dan perburuan Kang Sengsu.
            Kadang saya najis, tapi saya membasuhnya dengan air, tanah dan senyuman. Saya memilih sedikit repot untuk jadi suci sesuai ajaran Tuhan. Saya memiliki keyakinan jika Tuhan tidak menciptakan mahluknya untuk dihina dan menjadi bahan umpatan.

            
Jeko ki pancen asu. Podo koe!

ASU!

Posting Komentar untuk "Dilema Menjadi Anjing, dan yang Lebih Najis dari Liurnya."