Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Beni, Bara Api di Timur Pertiwi


Selamat datang

Buat saya, Papua adalah kasih dan sayang. Tempat di mana saya menemukan makna 'kaya' sesungguhnya. Sebuah pulau paling timur Indonesia yang akan saya kunjungi lagi di kemudian hari.

Juli 2018, kali pertama saya melakukan perjalanan udara paling jauh, perjalanan darat paling panjang, dan perjalanan air paling melelahkan. Paket lengkap untuk merasakan remuk di waktu yang berurutan. Sebelumnya saya pernah bercerita tentang Papua di sini: Di Surga, Gelap Masih Ada. Sedikit tentang Beni ada di tulisan tersebut. Tapi saya berniat untuk menuliskannya lagi, beliau terlalu berkesan untuk tidak diceritakan secara khusus.

Saya belum begitu lama mengenal beliau, pun itu hanya hitungan hari, tapi dengan cara sederhananya, ia mampu  menempatkan diri untuk diingat. Usianya baru masuk kepala tiga, masih terbilang muda untuk rerata orang Indonesia. Kira-kira ia hampir menempuh separuh dari seluruh usianya. Beni masih bujang, sampai cerita ini dituliskan, Beni menjabat sebagai sekertaris distrik Syahcame yang membawahi beberapa kampung: Asset, Osso, Bosma, Ogorito, Homilikia, dan Kobeta.

Beni menyebut dirinya sebagai anak negeri. Sebuah keputusan rumit untuk melebeli diri sendiri dengan sebutan sensitif tersebut. Namun, menyebut diri sebagai anak negeri merupakan bentuk nasionalisme dan kecintaan Beni sebagai warga negara, begitu menurutnya. Hal ini yang sangat amat patut untuk diapresiasi. Meski negeri dambaannya tetap datar di mata banyak orang, ia tetap lantang menyuarakan jika kemajuan bukan milik Jawa saja.

Ketika kami sampai di gerbang pelabuhan Asset, Beni adalah salah satu orang yang pertama kali melambaikan tangan. Ayunan kiri dan kanan seperti memberi isyarat 'selamat datang', senyum lebar nampak diwajahnya. Semua orang turun dari perahu, uluran tangan langsung menyambut penuh hangat. Genggamannya kencang seperti memegang parang. "Mari silakan, selamat datang di kampung Asset."

Dari pelabuhan menuju kantor desa jaraknya cukup jauh, sekira 1 km melewati jalan conblok dengan lebar tak sampai dua meter. Pinggiran jalan sudah bersih, sangat bersih. Barang satu daun pun tidak ada yang berani jatuh. "Kemarin kami kerja bakti, sa minta dorang rapikan semua untuk sambut teman-teman dari Jakarta."

Selama perjalanan kurang lebih seperempat jam itu, Beni banyak bicara tentang kampungnya, apa yang dia kerjakan, dan harapan-harapan yang ingin ia lakukan. Di Asset, di kampung di mana Beni tinggal sekarang, sudah tidak ada lagi hutan primer.

Sekira awal 2000 pemerintah gencar memperluas lahan perkebunan karet, ini bukan hal baru di Papua. Karet merupakan program tanam peninggalan kolonial di tanah cendrawasih. Selama lima tahun dari 2006 sampai 2010, tercatat luasan perkebunan karet di Papua mencapai 4.752 Ha. Lahan ini tersebar di tiga kabupaten, Boven Digoel, Merauke, dan Mappi.

Wilayah di sekitaran Asset, dan kampung lain yang berada di Kabupaten Mappi rata-rata sudah dijejaki tanaman komoditi ekspor ini. "Beberapa kali ada pengusaha minta jatah tanah untuk dibangun pabrik pengolahan karet di Syachme, tapi belum ada yang serius dan memenuhi kemauan masyarakat. Dorang minta dekat dengan mata air, sa dan warga kampung jelas menolak." Sorot mata Beni memberi isyarat bahwa yang dibicarakannya serius.

Tidak terasa seribu meter sudah dilewati. Kami sudah sampai di kantor desa, pusat dimana administrasi Distrik Syachme berlangsung. Hanya ada beberapa gedung saja, kantor distrik, rumah dinas penjaga, dan rumah guru. Satu bangunan lain yang lebih besar berada sedikit menjauh, tempat rapat dan pertemuan warga. Di depan rumah guru sudah ada beberapa kursi, belum dibuka, masih terlipat dan bersandar di dinding. Di sana sudah ada beberapa orang, para tetua yang ingin tau kabar angin apa yang kami bawa.

"Sa pernah alokasikan dana kampung untuk bikin pengolahan karet, warga dorang yang bangun, swadaya, biar nanti kalo panen toh, dorang pu karet dapat harga tinggi." Beni masih melanjutkan cerita karetnya sampai matahari benar-benar padam. Bangunan yang digunakan untuk mengeringkan karet ini sebenarnya sudah berdiri tegak, Beni bilang sudah beberapa kali difungsikan, namun tidak lagi digunakan karena perusahaan yang biasa membeli hasil panen karet sekarang sudah pergi. Dengan dalih biaya oprasional yang terlalu tinggi, mereka angkat kaki dan tidak lagi mengambil hasil bumi dari kebun orang-orang kampung.

Sekarang, sebagian besar tanaman karet yang berada di Syahcame dibiarkan begitu saja. Tidak lagi jadi tumpuan ekonomi masyarakat sekitar.

Kulkas dan Kalkulasi

Menjelang malam, setelah memperkenalkan kami dengan warga kampung, Beni berinisiatif mencarikan kami lauk. Bilangnya, hal ini semacam tradisi untuk menyambut tamu jauh. ia akan pergi berburu di hutan belakang kampung, mencarikan kami seekor rusa sebagai hidangan pembuka. Saya yang tidak ingin ketinggalan momen langka tersebut lantas meminta izin, "boleh ikut kah tidak?"

Beni melirik saya dengan tatapan tajam, seperti sorot ragu dengan kemampuan saya, matanya bertanya-tanya, apakah dia kuat dengan dingin malam, apakah dia punya nyali cukup melihat pantulan mata merah di permukaan sungai? Di rawa yang syarat dengan buaya, badan saya yang berselimut kulit saja akan jadi makanan empuk untuk empunya sungai.

Saya melapisi diri dengan busana tahan hujan, bersepatu dan membawa beberapa peralatan yang cukup mumpuni untuk pergi ke hutan. Ternyata, apa yang saya kenakan hanya jadi bahan ledekan saja. Mereka, para bapak-bapak yang pergi berburu hanya mengenakan kaos oblong dan celana pendek saja. Di pinggangnya melingkar parang, tangannya menggenggam lampu sorot. Sudah itu saja. Jika dibandingkan dengan apa yang melekat ditubuh mereka, safety versi saya terlalu berlebihan.

Kapal menyusuri sungai, melaju perlahan menuju hilir, dua senter kuning menyala menerangi bantaran. "Gimana kita tau kalo di sana nanti ada rusa?" Hal-hal yang tidak saya ketehui terkadang jadi celetukan yang keluar begitu saja. Tidak ada yang menjawab, cara kerjanya adalah hening, senyap tanpa suara. Tak lama kemudian kapal menepi. Beni yang sudah berada di ujung kapal langsung lari tanpa instruksi. ia meluncur tanpa alas kaki, parangnya sudah digenggaman, sejajar dengan pinggang. Beni yang sudah berada di ujung kapal langsung lari tanpa instruksi. ia meluncur tanpa alas kaki, parangnya sudah digenggaman, sejajar dengan pinggang. Selang beberapa menit, rintik yang menemani kami semenjak keluar kampung berubah menjadi deras. Hujan turun tanpa basa basi, sementara Beni masih berada di tempat yang jauh. Senternya terlihat menembak ke langit, ia goyangkan cahanya, sebuah pertanda jika rusa incarannya sudah lari lebih jauh.

Rusa memiliki penciuman yang tajam, mereka peka dengan bau asing. Rusa tidak bisa didekati dari arah angin bertiup. Misal begini: Jika angin bertiup dari sebelah barat, maka pantang mendekati rusa dari arah yang sama, harus dari arah sebaliknya, arah timur. Angin membawa aroma manusia lebih cepat dari kecepatan berlari manusia itu sendiri. Beni yang beri tahu saya.

Selain cara berburu dan berlari tanpa alas kaki, ada beberapa hal yang membikin saya kagum, yaitu tradisi kakek moyang yang mereka anut masih tetap terjaga sampai hari ini, sampai tulisan ini saya buat. Dalam berburu, mereka memiliki pakem yang harus dijalani, rusa yang diburu sudah cukup dewasa, tidak sedang hamil, atau menyusui. Biasanya yang diincar adalah rusa jantan, mereka biasa sebut dengan istilah cabang. Jika malam ini ada rusa yang didapat, maka satu kampung memiliki lauk yang sama, semua makan daging dari hasil buruan yang ditangkap. "Ambil banyak juga buat apa? kita ini di kampung, tidak ada kulkas." Lagi-lagi Beni meledek saya.

Malam panjang yang bertaburan bintang dan hujan itu menjadi evaluasi panjang buat saya, antara tua dan muda, pada si miskin dan si kaya. Mereka bukan tidak mampu beli sepatu sebagai alas kaki, buat apa? Bahkan ketika telapak kaki menginjak duri, bukan luka yang didapat, malah sang duri yang meminta maaf. Secara fisik, mereka kuat dan terlatih. Apa-apa dibagi, kulkas mereka berada di alam, yang mereka butuhkan sudah tersedia, dan mereka tetap merawatnya. Mereka punya semua, termasuk kasih dan sayang dari doa-doa yang panjang.

Keberlangsungan hidup merupakan kalkulasi, perhitungan dari deret yang tidak kunjung sudah. Hari ini lauk diambil dari sungai, besok kami pergi masuk hutan untuk sarapan. Senyum, salam dan sapa terjadi secara langsung, genggaman hangat penanda eratnya persaudaraan. Tawa sedih di layar, tidak  berarti di sini. Di sini, di pelosok negeri, mereka mengayuh sampai jauh untuk tanya kabar. Mama baik, kah? Bapa dorang tidak pi ke ladang? Baru tinggal semalam, ko su tambah gode, eh?! Tidak dapat dipungkiri, dialek yang harusnya sangat asing buat saya, malah terasa kian dekat.

Ya, semua tentang perhitungan, sebuah kalkulasi hidup tanpa kulkas dan untung rugi.

...

Beni adalah sosok bagi masyarakat kampung, pemangku yang mendengar aspirasi, keluhan, dan kebutuhan warga, seorang yang mendistribusi informasi dengan baik dari hulu ke hilir, atau sebaliknya. Dari obrolan yang saya dapat, selain menyandang sebagai anak negeri, pendahulu Beni juga cukup punya taring, kakeknya sewaktu muda merupakan pemimpin perang, Beni sendiri memiliki darah keturunan Awyu, suku yang mendiami daerah aliran sungai Digul, tempat Beni tinggal sekarang.


Saya selalu percaya bahwa kebaikan tidak diceritakan oleh diri sendiri, namun berdasarkan apa yang ditangkap oleh orang lain, lalu dikisahkan sebagaimana kebaikan itu terjadi. Seperti yang sedang saya lakukan, dan yang pernah saya dengar dari warga kampung tentang Beni.

Dua hari terakhir Asset adalah tempat pulang, rute dari rumah guru menuju dermaga seolah biasa saja. Babi dan anjing yang semula menatap kami dengan pandangan curiga, kini sudah mulai melunak, menunjukan mata sayu pertanda bahwa mereka sudah jinak. Kami masih berencana melanjutkan survey lagi ke beberapa kampung, melakukan tagging dari pangkal dermaga sampai masuk ke rumah paling ujung. Bertemu dengan kepala kampung, pendeta, dan seluruh penghuninya.

Di malam ketiga, semua memori yang saya bawa penuh. Saya meminta izin Beni agar bisa dipinjamkan aset pemerintah berupa seperangkat komputer, banyak foto yang harus dipindah. Ada empat komputer gedung utama tempat administrasi Distrik Syahcame berlangsung, lengkap dengan printer dan printilan penunjang lain. Alat kemajuan zaman ini tidak menyala setiap hari, penggunaan aset pemerintah hanya dilakukan ketika ada surat yang harus dibuat, selebihnya hanya sebatas pengecekan fungsi saja.

Beni meminta saya untuk meninggalkan foto yang saya ambil selama berada di Asset dan kampung-kampung lain. Tentu saja saya tidak keberatan, terlebih Beni punya rencana untuk membikinkan website distriknya. Saya dan Beni sempat membahas ini sepintas. Di Distrik Syahcame, ada beberapa kerajinan yang menurutnya layak untuk disajikan untuk pasar nasional. Ada tradisi yang bisa dijadikan bahan belajar, dan soal bentang alam, ah sudah. Prihal ini tidak lagi perlu diperdebatkan. "Biarpun di Asset belum ada sinyal internet, cari sinyal telpon saja harus berdiri lantang di bawah tiang, paling tidak orang-orang di luar sana tau kalau Syachme punya potensi, Papua punya potensi, bukan Jawa saja."

Saya tidak menanggapi Beni untuk urusan kejawaan yang sering dia ucapkan, saya hanya bisa membatin, mungkin ada yang ia simpan tentang Jawa, barangkali gadis Jawa sana pernah meluluhkan kebatuan Beni. "Nanti apa yang bisa tak bantu, nanti aku bantu Bang Ben." Beni mengangguk, senyum sumringah dengan pundak yang bersandar di tembok memandang layar komputer. Sementara lampu di ruangan tersebut tetap berkedip mengikuti alunan disel yang juga terdengar jelas. Ada beberapa hal yang akan kami lakukan lusa, setelah survey selesai. Ambil beberapa gambar dan membicarakan hal-hal yang perlu dikemukakan.

Malam berlalu begitu menyenangkan di Asset, terlebih setelah pukul 22.00, disel sudah berhenti menyala. Semua lampu padam, tersisa kunang-kunang yang merumpun di pohon. Kemerlip kuning menyala serentak, meredup, menyala lagi di pohon yang sama. Bintang berpendar di segala penjuru, segaris galaksi selalu nampak cerah di selatan. Semudah itu mata telanjang menikmati bentang semesta, gelap, tanpa cahaya. Lalu, untuk apa kemajuan bagi orang-orang yang dianggap tertinggal? Apakah tiap dari kita harus seragam dan sama?

Pulang dan Rumah

Mengandai untuk tetap tinggal makin lama makin terbangun dengan baik, Papua jadi tempat paling menyenangkan sekaligus menantang untuk merasakan 'tetap hidup'. Kenapa saya tidak lahir di sini saja? Di tanah milik Beni dan para leluhurnya. Saya selalu berjanji dengan diri sendiri. Besok, lusa, atau jauh hari yang akan datang, saya akan kembali. Jika janji ini belum terwujud, panyebabnya hanya satu, mati muda.

Di antara lapangan kering berdebu, tower sinyal dan pepohonan yang tingginya tidak seberapa. Saya menyaksikan sendiri betapa ampuhnya kaki-kaki berlari, beradu keras dengan batang semak perdu yang dipangkas tak sampai akar. Aksi kejar-kejaran merebut bola untuk dimasukan ke gawang milik lawan. Saya hanya berani mengambil gambar dari kejauhan saja, memotret kesaktian orang-orang kampung Asset, itu sudah lebih dari cukup, tidak perlu ada pembuktian. Sepak bola pemersatu segalanya, begitu slogan mereka.

Dari kejauhan, Pak Obrim, salah satu pendamping kami dari Koramil Bade mendekat menghampiri saya, "Berkemas, kita balik kanan, ini perintah." Anggotanya yang juga berada di lapangan dipanggil, diminta untuk segera bersiap, seketika itu tanah lapang yang tadinya ramai dengan teriakan, jerit dan adu pandang, mendadak berhenti. Semua mata mengarah ke sumber suara, pandangan penuh tanya, ada apa?

Beni segera menghampiri Pak Obrim, memastikan apa yang sedang terjadi, kabarnya semua tim ekspedisi diminta untuk kembali ke poskonya masing-masing untuk sementara waktu. Di tempat lain, di Paniai, KKSB (Kelompok Kriminal Sipil Bersenjata) melakukan serangan dan merampas beberapa pucuk senjata api milik aparat. Beni bersikeras meyakinkan dan memastikan bahwa kejadian tersebut tidak akan terjadi pada kami, tim survey di Syachme. Sayangnya, perintah komandan tidak bisa dibiarkan, pulang adalah pulang, bukan negosiasi.

Langit sudah sedikit gelap, matahari hampir pamit dari panggungnya. Tidak ada acara perpisahan seperti sambutan sumringah saat kami datang, semua berlalu dengan cepat. Speedboat yang disewa sebagai transportasi utama sudah bersiap ditepian dermaga, mesinnya sudah menyala. Beni mulai murung, raut wajahnya mulai tidak teratur, senyumnya hanya di pangkal saja, kecut. Beni juga ikut menghantarkan kami serombongan menuju ujung kampung, di dermaga, semua orang bersalaman, saling berpeluk, berjaga-jaga andai kata tidak ada lagi kembali ke kampung mereka. Di wajahnya yang terlihat masam itu, Beni adalah satu-satunya orang yang menolak untuk mengulurkan tangan, tidak ada sentuh tangan, tidak ada jabat tangan. Beni punya keyakinan, jika perginya kami, bukan sebuah perpisahan. Jabat tangan hanya dilakukan ketika tidak ada pertemuan lagi dalam waktu dekat.

Sedikit keyakinan yang menugundang banyak kesedihan, Beni melambai saat kami mulai menjauh meninggalkan Kampung Asset. Sebelum kami pergi, Beni sempat bilang "Besok kalian kembali lagi, tugas kalian belum selesai." Meski tidak ada sepatah jawaban sebagai bentuk kepastian, keyakinan terus ditanamkan. Terlebih banyak rencana dan urusan yang harusnya kami tunaikan sebelum ada pamit dan pulang.

...

Beberapa hari sudah dilewati, akhirnya kabar yang ditunggu datang juga, ekspedisi dihentikan, konflik belum usai. Harapan saya untuk kembali ke Asset makin menjauh, tim ditarik untuk dikumpulkan lagi di Merauke, lalu diterbangkan ke Jayapura sebelum kembali ke Jakarta dan pulang ke rumah masing-masing. Selama di Bade, saya berusaha untuk menghubungi Beni, saya menelusur dan mendapat nomor Beni dari Kepala Distrik. Alasannya sederhana, apa yang sudah jadi rencana harusnya segera dimulai agar selesai.

Seminggu lebih saya mengirim pesan singkat tanpa tau pesan yang saya kirim sampai atau hanya berada di pelataran tower sinyal kampung saja.

Mungkin besok, atau lusa, saya akan mencoba menghubungi Beni lagi. Tukar kabar agar tidak ada ingatan yang berhianat.

Ternyata pulang itu berat, terlebih pulang dari tempat yang sebentar saja sudah terasa seperti rumah. Rumahku adalah rumahmu, tempat di mana nyaman dan hangat kasih sayang beradu padu, berbenah dan cita-cita menjadi syarat dasar agar tetap bahagia.

Sampai jumpa dipemakluman berikutnya, dipertemuan panjang di mana pulangku adalah rumahmu, janngan berhenti bersuara, kemajuan bukan Jawa saja.
Terima kasih orang baik. Hidup!

Yogyakarta, 03-08-2020
SON



Posting Komentar untuk "Beni, Bara Api di Timur Pertiwi"