Aku yang Selalu Ingin
Tutup tahun selalu jadi ajang untuk pamer pencapaian, baik yang terlihat secara fisik, digital maupun mental.
Saya yakin kamu gak paham, nih saya jelasin sedikit. Pencapaian secara fisik kurang lebih tentang sesuatu yang bisa dilihat, seperti rumah, mobil, perhiasan mewah atau segala yang bisa kapan aja orang liat dan bisa kapan aja kamu kasih liat. Pamer sepamer pamernya.
Nah, tentang pencapaian digital, ini ada hubungannya dengan pencapaian mental. Sebenarnya sedikit halu dan tabu, sih. Tapi berdasarkan pengamatan sepanjang musim yang saya lakukan di dunia maya, Instagram dan Twitter khususnya. Dunia digital akan memberikan kepuasan tersendiri bagi penggunanya ketika bisa menunjukan keberadaan dan kepemilikan.
Jalan-jalan dikit, upload. Beli tas baru, upload. Punya pacar baru, upload. Semua hal yang mengandung unsur kebanggan diunggah. Pokoknya kamu harus tau kalo aku satu langkah lebih maju.
Biarpun media sosial lebih sering jadi tempat curhat, tetap aja, pamer harus terus bermanfaat.
Persetan dengan sosial media.
Sebagai seorang yang senang mengamati dan mendengar, saya suka kesal kalo ada teman yang membandingkan dirinya dengan orang lain. Sah aja, sih. Gak ada yang salah. Tapi dengan batas yang wajar, kalo sudah lompat dan melampauinya, harus segera ditindak, tapi jangan diinjak.
Aku yang selalu ingin jadi kamu tanpa peduli sedikit pun pada keakuanku. Revolusi menjadi pribadi lain karena jadi mereka, aku lebih diterima. Fak yu, sayang.
Baiknya saya memisalkan diri saya sendiri, dari berbagai contoh hidup yang buat saya mereka keren luar biasa. Agar tercipta sebuah pakem, "tanpa kamu aku akan tetap jadi aku."
Terkadang, saya suka iri lihat orang-orang yang berhasil, dalam tanda kutip, mereka yang sudah menemukan jalannya untuk sampai pada kesuksesannya. Saya mengalokasikan kagum saya menjadi iri tanpa dengki. Semata karena saya tak ingin terbuai dalam kekaguman, saya ingin jadi seperti mereka dengan cara saya sendiri. Saya yang belum jadi apa-apa kelak harus tetap jadi bukan siapa-siapa. Dengan cara saya sendiri, dan merdeka.
Baik menurut saya, belum tentu baik untuk orang lain. Paling tidak, ketika saya melakukan kebaikan, atau melakukan apapun yang saya sukai, saya tidak menyakiti orang lain.
Sebelum kamu pusing berkelanjutan, alangkah bagusnya jika kamu mengangkat segelas penuh berisi air mineral guna menjaga fokusmu pada kata-kata rumit yang akan kamu terima setelah ini.
Mari kita mulai.
Teruntuk kamu yang masih ragu pada keakuanmu, lebih memilih jadi pribadi lain dari pada berjuang untuk bangun atap pikirmu sendiri. Menjadikan omongan orang sebagai dasar berbenah, maaf kamu salah.
Seperti rumput yang ditiup angin, mereka hanya bergerak, bukan tumbuh untuk beranjak. Harapku, kamu tak jadi rumput yang lupa pada tanah, pada nutrisi daun pepohonan yang gugur karena ingin.
Tanpa angin, rumput akan terus bergerak, terus tumbuh dengan caranya sendiri. Rumput tak ada yang liar, hanya anggapan kita saja yang membangun buah pikir bahwa mereka liar. Salah tempat dianggap sampah. Salah hadap dibilang biadab.
Rumput tak pernah tau dimana mereka akan tumbuh, tapi mereka tetap tumbuh. Rumput tak pernah paham kapan mereka harus pindah, atau malah berakhir dalam tempat pembakaran dan terabaikan.
Bingung gak, sih? Ribet gak, sih?
Sepertinya saya harus segera membuat kesimpulan. Sebelum kamu protes karena apa yang saya tulis ternyata gak nyambung sama sekali. Haha.
Ya gitu, kadang kamu gak harus paham tentang semua hal. Batasi dirimu untuk jadi orang lain. Siapapun kamu, tanpa aku, kamu tetap jadi kamu.
I Love You.
Terimakasih karena telah menyela waktu untuk membaca. Semoga kamu bingung dan merasa sia-sia.
Salam hormat pake tangan kanan.
~Sonowl
Posting Komentar untuk "Aku yang Selalu Ingin "