Embun Kesiangan
Jadi, kaki-kaki itu mulai cengeng saat diajak memijak, gejolak air mata kerap kali merundung agar dapat perhatian, tapi ditolak.
Mengkudu separuh matang jatuh lagi ke air, mengalir ikut deras riam mendekati hilir, namun lupa mudik. Perginya tidak pernah kembali.
Buku-buku dibuka lagi tanpa dibaca, sampulnya disobek, halaman pertama disobek, halaman terakhir disobek. Pembuka dan penutup dibikin hilang agar tak pernah dimulai, juga tak pernah selesai untuk dihentikan.
Angin semilir mengetuk pintu dari luar, meminta izin untuk masuk menyaksikan pergumulan. Dari sore kemarin, mendung tak beranjak. Namun tetesan hujan pertama baru datang pagi ini. Mewakili embun di atas pucuk padi.
Tubuh lemas itu luka-luka, serantai bekas gigi memutar dari pangkal paha sampai punggung belakang. Di dada, di lengan, di ketiak, di leher, di banyak tempat di badan yang tetap tersenyum. Perih.
Pukul dua dinihari, jangkrik jantan kembali menyalak, keluar masuk lubang menanti jawaban dari deriknya yang panjang. Ia kemana? Dan ribuan pertanyaan melintas seperti parade festival penghujung tahun.
Sudah kertas ketiga, kumpulan kata-kata tetap pada tempatnya, membisu dingin seperti embun beku di kulkas yang tidak pernah terisi, kosong, tetap kosong dan selalu kosong.
Bilangnya, silakan masuk, pagar depan tidak dikunci, di taman ada satu kursi yang bisa digunakan untuk beristirahat sebentar. Jangan sungkan jika ingin masuk, ketuk saja, rebahan di dalam. Pintu utama juga tidak terkunci rumah ini bisa jadi tempat singgah, tapi jangan ubah tata letak yang ada di dalamnya.
Selamat datang.
Posting Komentar untuk "Embun Kesiangan"