Kebumen, Soto, Biji dan Bajingan | Mudik Etape 1
Sebuah pranala di Facebook mambawa
saya berburu makna tersesat, penasaran yang menggebu mendasarinya, sebetulnya
tersesat itu seperti apa? Apakah ‘salah jalan’ sudah masuk kategori tersesat?
Apakah untuk tersesat saya harus punya tujuan? Apakah sesat selalu salah? Atau,
jangan-jangan, Facebook telah menyesatkan saya yang sedang mencari makna sesat?
Sial, di mana ujung kebenaran ini?!
Kebumen meninggalkan banyak cerita di
kepala saya. sebetulnya bukan tentang Kebumen, tapi perjalanan saya menuju
Kebumen dan Kebumen itu sendiri. Di cerita sebelumnya, (Pulang yang Membingungkan), saya sudah cukup tersesat. Barangkali bukan tersesat, lebih
tepatnya tak tau arah dan tujuan. Sudah bingung? Belum? Baik, saya lanjutkan.
Saat mudik kemarin, Kebumen menjadi
pilihan untuk istirahat sebelum menuju tujuan selanjutnya. Pun rencana untuk
mampir-mampir juga dadakan, singgah di tempat yang sekiranya bisa untuk
istirahat. Di Kebumen, saya mengunjungi Mas Gentong. Senior di Mapala tempat
saya bernaung dan belajar. Dari namanya, mungkin kamu sudah bisa membayangkan
perwujudan Mas Gentong seperti apa. Sedikit mirip (gentong) tapi tidak persis,
sebuah julukan untuk penggambaran saja, panggilan mesra guna memudahkan
ingatan.
Saya bertemu Mas Gentong di pertigaan
DEKRANASDA dekat alun-alun Kebumen. Awalnya, saya berencana langsung datang ke
warung kopi miliknya, namun malam itu sedang tutup. Sebagai gantinya, ia mengajak saya berkunjung
ke warung kopi milik temannya, tapi kami mampir dulu untuk isi perut. Beberapa
kali berhenti di lesehan pinggir jalan, sayangnya tidak cocok, terlalu ramai,
tidak kebagian tempat parkir, dan tidak ada pilihan menu yang kami inginkan.
Kebumen lebih ramai dari hari
biasanya, begitu menurut Mas Gentong. Musim mudik bersamaan malam minggu. Jadi,
wajar jika Kebumen terlihat padat. Setelah bosan berseteru, kami sepakat untuk
singgah di warung soto yang menurut saya
sedikit, aneh; pertama, saya jarang menemui warung soto yang masih menyisakan
menu-nya sampai tengah malam, utamanya di Yogya, pukul delapan saja sudah
susah, antara habis, atau memang tidak buka sampai malam. Kedua, bapak penjaga/pemilik
warung soto seperti tidak menerima tamu. Jadi, datangnya saya dan Mas Gentong,
ya, cuma dianggurin, tidak ditawari, tidak dipersilakan. Makna “malu bertanya,
lapar berkepanjangan,” benar-benar terjadi malam itu. Sedari kami masuk, duduk,
dan menunggu cukup lama, tidak ada yang menghampiri kami untuk sekedar bertanya
“makan sini, atau bungkus?”
Di warung itu ada dua orang lain,
bapak-bapak. Kami berspekulasi mereka juga menunggu, sama seperti saya dan Mas
Gentong.
“Pak, kie bakule lunga nangdi?” (Pak,
penjualnya ke mana, ya?)
“Kie, neng kene. Kepriwe?” (Saya,
mas. Gimana?)
“Sih ana mbok?” (Masih ada, kan?)
“Ya, ana.” (Ya, ada.)
“Yungalah, kie le ngenteni ket mau.
Niat dodol ora si, pak?” (Astaga, ditunggu dari tadi. Niat jualan gak, sih,
pak?)
“Kae soto. Sit, tak gawekna. Sampean
ora takon, tak kira mung numpang njagong.” (Ada soto. Sebentar, saya buatkan.
Mas gak tanya, saya kira cuma numpang duduk.)
Saya cekikikan di meja yang tidak
begitu jauh jaraknya dengan Mas Gentong, sekira tiga langkah. Obrolan
menggunakan logat ngapak antara penjual soto dan Mas Gentong membuat perut saya
sakit karena harus menahan tawa. Ke-ngapak-an mereka seperti udara gunung yang
sangat segar, tidak boleh dibiarkan begitu saja. Harus dihirup dalam-dalam.
Sampai habis, sampai kering.
“Ngopo e, Mbah?” Saya langsung
bertanya selepas ia kembali duduk. Panggilan ‘mbah’ merupakan bahasa lain dari
‘mas,’ untuk beberapa senior saja, tidak semua.
“Suog, bakule introvert.”
“Hahahahaha.” Kali ini saya tidak
bisa menahan tawa, jika tadi berusaha untuk menghirup semua udara lucu,
sekarang lepas sudah. Puas. Pun saya tidak mengerti ‘introvert’ yang dimaksud
Mas Gentong. Saya artikan secara general saja.
Buat saya, orang-orang Kebumen, Cilacap,
Banjarnegara, dan salah dua eks
karisedenan Kedu, seperti: Purworejo dan Wonosobo, merupakan golongan manusia
yang dilahirkan dengan bakat menghibur dengan level yang baik, sangat baik
tepatnya. Mereka selalu ceria, bahkan dalam marahnya, masih bisa membikin gelak
tawa. Tidak semua, beberapa yang (cukup) banyak.
Setelah menandaskan soto, lengkap
dengan kerupuk, kecap, sambal, dan jeruk nipis. Mas Gentong mengajak saya ke
warung kopi milik temannya. Tidak jauh dari tempat kami makan. Warung itu dinamai Coffe Ngapak, sebuah tempat
ngopi yang diklaim asik, santai, menyenangkan, teduh dan ramah diskusi.
Pemiliknya bernama Akhmad, lulusan salah satu Sekolah Tinggi di Yogya, sekarang
sudah menjadi Universitas.
“Mad, adiku.” Mas Gentong memperkenalkan.
“Halo, Mas. Son.” Saya mengulurkan
tangan untuk bersalaman.
“Halo, Akh," Ia menyambut dan lekas
menggenggamnya erat dengan dua tangan, (the
hand hug). Jabat tangan yang sering digunakan politisi, jabat tangan yang
mengisyaratkan keakraban, kehangatan, kejujuran dan dapat dipercaya. “Akhmad,
aja ngasi kurang. Nek ora, ya, Mad. Pokoke sak karepe sampean wae la. Sing penting
pantes, penak,” lanjutnya. Saya membalas dengan senyum sumringah. Ia menyilakan kami untuk langsung
naik ke lantai dua, ke loteng, tempat santai lain yang masih satu kesatuan
dengan ruang di lantai bawah.
Di ruang bawah, nuansa yang ditawarkan semi
modern, meja tinggi sepinggang dengan kursi yang saya perkirakan tingginya tiga
perempat dari tinggi kursi. Materialnya terbuat dari kayu. Di dinding terdapat
beberapa lukisan, hiasan yang terpatri langsung ke tembok dan mural nama warung
kopi tersebut dengan dominasi latar berwarna hitam dengan tulisan putih
menjadikannya terlihat menonjol.
Di lantai dua, suasananya berbanding terbalik,
mundur sekira empat puluh tahun. Terdapat sebuah lemari tua dari kayu jati, ada
tv lawas yang saya duga masih hitam putih, kotaknya dari kayu, merek Sharp.
Sebagian tinggi dindingnya dilapisi dengan palet kayu, sebagian yang lebih
tinggi dibiarkan tanpa plester dan aci, tembok bata merah. Di sudut yang lain,
ada mesin jahit yang juga lawas. Di ruangan ini tidak ada kursi, beralas karpet
dengan tinggi meja sekitar tiga puluh senti.
Di sana sudah ada beberapa orang,
teman-teman Mas Gentong tentunya.
“Eh, apa kabar?”
Pertanyaan yang ternyata bukan untuk
saya, seseorang sedang bicara dengan teleponnya.
“Ko pu biji masih mengkilap, kah?
Rutin sunduk lakang?” Ia bicara dengan bahasa timur, tapi tidak dengan
logatnya. “Sa besok ke sana, tengok ayam,” lanjutnya. Saya tidak paham makna
pembicaraan itu, juga tidak terlalu ingin mengetahuinya.
Sampai cerita ini saya tulis, saya
tidak berhasil mengingat nama mereka, teman-teman Mas Gentong. Kecuali Akh,
lengkapnya Akhmad, pemilik warung. Saya selalu gagal mengingat nama, bukan
hanya kali ini, terhitung rutin.
“Anu coy, kancaku, deknen ki doyan
banget kawin. Makane aku le takon kaya kue.” Ia langsung menjelaskan setelah
menaruh teleponnya dengan posisi terbalik, layar menghadap bawah. “Mbien, anyar-anyare
rabi, deknen tau diparani tangga-tanggane, dikira lagi perang. Padahal dudu
ribut, lagi kawin. Kayane manuk e tonggone yo melu tangi,” lanjutnya. Seisi
ruangan tertawa renyah. Kita sepakati saja namanya Mas Biji, agar lebih mudah.
Ia memiliki perawakan dengan tinggi yang cukup, rerata orang Indonesia,
menggunakan songkok dan berjenggot tebal. Konon, songkok merupakan aksesoris
wajib yang selalu ia gunakan. Selain berdagang kopi, ia juga berdagang songkok.
Mungkin itu sebabnya ia menjadikan songkok sebagai aksesoris wajib, sebagai
identitas yang secara tidak langsung menjelaskan bahwa; ‘aku bakul songkok!’
Akhmad datang membawa nampan berisi
tiga gelas kopi. Kaliangkrik, gayo dan wine Temanggung, pesanan saya dan Mas
Gentong. Satu dari tiga gelas yang dibawa merupakan bonus, begitu, bilang
Akhmad.
“Bajingan,” Mas Biji terkejut saat
melihat telepon miliknya, ia langsung menempelkannya ke telinga, “ko dengar
semua, kah?” Sambungan telepon dengan temannya belum terputus, semua yang ia
ceritakan tadi tentang perkawinan itu, didengar oleh temannya dengan jelas.
Kami semua tertawa tanpa menunggu penjelasan. Ia lantas pergi menjauh,
menyingkir ke balkon. Mungkin suara tawa kami mengganggu komunikasinya, atau
ada yang ia jelaskan lebih lanjut pada temannya, semacam permintaan maaf,
mungkin. Sebatas menduga, tidak lebih.
Malam itu, saya habiskan di Coffe
Ngapak, warung ramah diskusi, dan ramah untuk segala hal; sambutan, pertemanan,
kopi, literasi, seks, bisnis, dan yang jelas, ada keceriaan. Kecerian tidak boleh
pergi dari Kebumen, apapun alasannya. Obrolan malam sekelompok pria bebas.
Minimal, bebas dari rasa sedih. Bukankah harusnya memang begitu, ya?
Bersambung …
Thanks for sharing,.
BalasHapusKunjungi juga http://bit.ly/2VUdTWr