Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tak Pernah Ingin Pulang | Palu Jangan Pilu - Bagian Pertama

"Ya mau gimana lagi, Mas. Saya asli Banyuwangi, sudah gak ada lagi rumah di sana. Jono Oge rumah saya. Kalo pilihannya pulang atau tinggal, saya pilih tinggal. Tempat tinggal saya hancur, tapi harapan saya belum." 

Sudah hampir dua dekade bapak tinggal di Palu, merantau seperti orang jawa kebanyakan yang mencoba mempertaruhkan masa depan jauh dari tempat kelahiran. Asli Banyuwangi, tanah di tempat asalnya sudah dijual untuk modal, mengadu nasib di perantauan. Sesekali bapak pergi ke Jawa, bukan lagi untuk pulang, sekedar berkunjung, melihat saudara di kampung.


Namanya Pak ... , Rin, Sobrin, Sobarin, ah, sial. Saya tidak berhasil mengingat namanya. Bukan hanya kali ini, seperti penyakit yang jadi kebiasaan, saya selalu sulit untuk mengingat nama. Tapi tidak dengan wajah, dengan kisah, mimik, dan pesan yang bapak sampaikan.

Palu menjadi titik tengah untuk saya, dan pengalaman yang saya dapat disana menjadi busur, menggaris mengelilingi pribadi yang selalu benci untuk jadi dewasa. Terus ingin jadi anak-anak, tapi tak bisa. Dan posko pengungsian mengajarkan banyak hal, berbagi kesedihan, bercerita tawa, sebuah ketabahan tak berujung. Mengiringi langkah kecil menuju dunia yang begitu besar, keras dan liar.

Bapak dan keluarganya adalah penyintas yang mendiami Posko 6 Desa Jono Oge dan Lolu, satu dari banyak lokasi sebagai tempat tinggal sementara akibat gempa yang melanda Palu, Sigi, dan Donggala. Tiga Kabupaten porak poranda, ribuan orang kehilangan tempat tinggal, sanak saudara tidak ditemukan. Gempa, tsunami dan likuifaksi. Sepaket bencana yang dikirim sekaligus.

Rumah Bapak tak lagi bisa ditinggali, sekali waktu saya pernah diajak Aprin, anak laki-laki Bapak mengunjungi rumahnya di Jono Oge. Bagian depannya terlihat baik, lengkap dengan pintu dan daun jendela yang masih berada pada tempatnya, hanya sedikit miring. Sayangnya bagian samping dan belakang tidak lagi kokoh, dapurnya rubuh, tembok yang menopang atap retak panjang, mungkin sekali sentuh nasibnya akan sama dengan dapur, ambruk dan hancur.

Harta Bapak yang tersisa tidak banyak, pakaian menempel di badan, alat masak dan elektronik rusak. Yang lain dijarah, sisanya rata dengan tanah. Matanya berbinar, ada air mata yang tertahan.

Sore menjelang akhir Oktober, Palu benar-benar panas. Aktivitas yang saya lakukan sepanjang hari sama seperti relawan pada umumnya, membantu, membangun, membersihkan, atau ikut sibuk di dapur jika diperlukan. Setelah matahari sedikit mereda, biasanya saya lebih memilih untuk mendengarkan cerita. Kisah keluarga bapak adalah salah satunya.

"Kalo pilihannya pulang atau tetap tinggal, saya pilih tinggal, Mas." Sambil menarik kursi plastik dan membenarkan posisi duduknya.

"Aprin dari kecil udah di sini, sekolah, punya adik, sekarang kerja juga di sini. Pulang ya bisa pulang, tapi gak mesti, di Banyuwangi udah gak punya tanah lagi. Dulu sebelum pergi sudah dijual buat modal." Lanjutnya.

"Jadi petani di sini lumayan, Mas. Tapi ya sekarang lahannya sudah rusak, tanah di sawah sudah gak rata lagi, airnya mingslep sembunyi jauh, irigasinya ya udah gak ada air."  Kata istrinya yang sambil memilah sisa kacang panjang yang baru dipetik dari ladang.

Pasca gempa, air sawah di Desa Jono Oge banyak yang hilang, mungkin akibat permukaannya yang retak, atau gundukan yang muncul setelah terjadi guncangan. Pergerakan lempeng bumi ini menghasilkan bukit-bukit baru. Banyak irigasi yang kehilangan alirannya, air yang harusnya mengairi ladang dan sawah, bersembunyi di balik tanah. Kian masuk lebih dalam.

"Kedepannya nanti mau gimana, Pak?" Tanya saya pelan.

Bapak diam sebentar, ada jeda. Sebetulnya saya sedikit takut untuk menanyakan hal yang sekiranya akan membangunkan kesedihan. Saat itu belum genap tiga minggu setelah kejadian. Bisa saja masih ada ingatan buruk, kenangan tentang reruntuhan yang saya yakin akan terus membayang untuk waktu yang lama.

"Ya tetap dilanjut, Mas. Mau gimana lagi, udah garisnya. Saya bersyukur keluarga masih utuh. Kan yang inti itu, rumah hancur, harapan saya belum. Saya pasrah, tapi gak boleh nyerah."

Kali ini saya yang diam. Pernyataan bapak sudah menjawab semuanya, tersimpul dalam kalimat yang menghantar matahari tenggelam. Bukankah seharusnya memang begitu? Berusaha, pasrah, dan tidak menyerah.

Lalu saya makin merasa kecil, lebih kecil dari partikel debu yang berterbangan. Saya sudah kepala dua, baru kepala dua, dan rasanya hidup beberapa jam yang lalu. Sangat sedikit yang saya ketahui, barang setetes dari ilmu yang ada di bumi pun tidak ada.

Jika besok matahari pergi lebih dini, tertutup mendung, atau tak muncul sama sekali. Jangan berhenti berusaha, sedikit berharap dan terus berdoa. Bumi tidak berhenti merotasi.

Hidup!

~SonOwl


Posting Komentar untuk "Tak Pernah Ingin Pulang | Palu Jangan Pilu - Bagian Pertama"