Samsul Galak-si
Samsung Galaxy S Duos, hmm, lawas. Tapi canggih pada masanya. Rilis pertama kali di tahun 2012, menjadi senjata utama untuk menyerang kompetitornya saat itu, BlackBerry. Mengusung sistem oprasi berbasis android, dual sim, ram 768, layar 4 inch, memiliki kamera belakang dengan resolusi 5MP dan VGA di kamera depan. Lengkapnya kamu bisa cari sendiri, atau bisa langsung menuju link ini Review Samsung Galaxsy S Duos, biar gak tersesat dengan pendapat saya yang ngawur.
Saya tidak sedang membahas detail spesifikasi handphone ini, apalagi menyarankan untuk menggunakannya di 2019. Lelet, batre boros, mudah panas, jelek, kuno, ketinggalan jaman, haha. Bukan, tidak seperti itu. Saya hanya ingin membahas dari segi kamera saja. Apa yang bisa kita lakukan dengan kamera handphone 5 mega pixel dengan usia hampir satu windu? Ya jelas motret dong. Apakah dengan menggunakan kamera Samsung Galaxy S Duos memuaskan? Wwooo, tidak!
Jadi begini, Bung. Kurang lebih sudah dua bulan saya menjadi user tabah bagi handphone super menjengkelkan ini, sengaja dibuat sabar karena kahanan, hehe. Kalo ada yang lain, saya pilih yang lain deh, beneran. Mungkin mesin yang ada di dalam handphone ini sudah tidak lagi kompetibel dengan aplikasi yang terus-terusan diupdate, jadi sedikit wajar jika jeroannya lebih sering merengek daripada membuat bangga. Serius, udah gak ada yang bisa dibanggain lagi dari handphone ini. Bodol.
Tentang gambar bagus, saya rasa piranti yang kita gunakan akan mendukung demi terciptanya gambar yang sesuai harapan. Tapi apa jadinya jika yang ada hanya seadanya? Dengan kreativitas, memaksimalkan apa yang kita miliki, semua bisa kita lakukan. Biarpun pada kenyataanya gambar bagus adalah prespektif.
Sambil cerita, berikut hasil foto tanpa edit dan beberapa hal yang bisa kamu lakukan dengan 5 mega pixel ala Samsung Galaxy S Duos.
Low Light
Kesan pertama yang saya dapatkan adalah, sial biasa banget. Foto ini saya ambil lepas magrib, dimana cahaya sekitaran tidak sepenuhnya gelap. Tamaram menyenangkan. Objeknya odong-odong, cahaya garis merupakan efek sisa arem-arem yang nempel ditangan dan saya oleskan pada kaca lensa kamera. Tujuannya biar nyenie-nyenie gitu, pun kalo gak dikasih efek mbelalur jadinya malah kaya ... ya pokoknya gitu, harusnya kamu bisa bayangin standar bagus hasil kamera hp ini. Buat dapet foto ini, saya berulang kali jepret, sampe yakin kalo udah cukup bagus, nyatanya ya gak bagus juga. Saya bukan tipe orang yang bisa puas dengan sekali jepretan, bahkan ketika sudah berulang ulang, gak jarang semua foto yang saya hasilkan cuma dihapus gitu aja. Standar puas saya tinggi, tapi usahanya rendah. Heheh, cukup sebanding.
Sinar Pagi
Saya pernah dikasih tau, kalo mau motret itu pagi atau sore sekalian, dimulai saat matahari terbit sampai sebelum matahari terik, siangnya istirahat dan mulai lagi sebelum matahari tenggelam. Dan teori hanya sebatas teori, emang sih ada benernya, tapi moment gak pernah bisa diprediksi, bisa dateng kapan aja.
Nih lagi, foto ini saya ambil sekitar pukul tujuh pagi, matahari baru muncul, masih seger-segernya. Bagus? Belum tentu. Ayam ini saya angkat dari selokan setelah berendam semalaman, dugaan saya sih gitu. Terjebak tak tau arah jalan pulang. Saking dinginnya, si ayam sampe lemes dan males buat lari. Biasanya ayam kampung terkenal giras, susah ditangkep dan badung. Dia baru kabur setelah saya bisikin, "yam, saya bukan vegan".
Siang Bolong
Selain motret diwaktu yang tepat, berarti hasilnya gak bagus? Sebentar, bagus itu masalah prespektif. Sama halnya dengan baik, bahkan yang menurutmu baik belum tentu baik untuk orang lain. Jadi, jangan gara-gara teori kamu jadi kehilangan percaya diri. Nih buktinya, dengan hp lawas yang udah ratusan kali kebanting, puluhan kali kena air, tetep aja pede. Bagus? Ya engga lah.
Foto ini merupakan buah kecemburuan saya terhadap sepasang merpati yang bisa nongkrong bebas waktu jam kerja, enak banget jadi mereka. Di sebuah pasar, di atas atap ruko yang panasnya semlenget, mereka tetap tampil mesra sambil membersihkan debu-debu di bulunya. Sesekali mungkin mereka tertawa melihat riuh pasar, dan bilang, "kita gini-gini aja bisa makan, kasian mereka".
Paparazi
Kalo ini sih sahih lah pokonya, mau kamera jeleknya kaya pantat ayam lupa cebok, kalo tujuannya dibuat paparazi masih pantes, cukup kalo buat ambil moment kerabat kerja yang tertidur disela waktu istirahatnya. Karena moment gak bisa nunggu pagi, siang atau sore. Gak bisa liat kondisi semangat atau lagi capek. Yang penting, motret.
Moment
Foto bagus menurut saya adalah, foto yang sesuai dengan imajinasi saya pribadi dan mampu bercerita. Karena dengan imajinasi yang liar, ditambah cerita yang menggelegar, akan melahirkan sudut pandang yang bombastis, spektakuler, dan membahana. Njir, lebay banget.
Foto diatas merupakan pilihan dari puluhan foto dengan objek yang sama. Bapak yang menunggu istrinya saat belanja sore di pasar ramadhan. Menunggu bukan hal yang mudah, namun ketika didasari oleh rasa sayang, sesulit dan selama apapun menunggu, akan terasa jadi kegiatan yang menggembirakan.
Saya mengamati si bapak cukup lama, lepas pasang helm, bolak balik liat handphone, dan berkali kali ganti posisi. Menunggu perempuan yang sedang berbelanja merupakan kesalahan yang menakjubkan.
Arsip
Ini gak kalah penting, buat arsip. Kebetulan saya punya rasa penasaran yang cukup tinggi dengan pertumbuhan, dan mereka (biji durian) merupakan biji yang sedang saya teliti. Keempat biji tersebut ditanam pada waktu yang bersamaan, yang membedakan adalah nutrisi yang didapat. Hasilnya? jelas beda.
Balik lagi ke masalah foto, untuk urusan arsip dan dokumentasi, saya rasa Samsung Galaxy S Duos masih mumpuni.
Kesimpulan: Sebagus, sekeren, dan sebaik apapun kamera yang kita miliki, kamera hanyalah alat. Yang paling penting dari sebuah foto adalah siapa yang ada dibelakangnya, bukan seberapa mahal kameranya.
Pada intinya, artikel ini hanyalah objektif dan opini pribadi saya, apa bila ada kesalahan, ya wajar. Namanya juga manusia. Heheh.
Sekian untuk opini ngawur kali ini. Terima kasih sudah membaca.
Sampai jumpa.
Hidup Samsul Galak-si!
~Sonowl
Posting Komentar untuk "Samsul Galak-si"