Geni yang Soleh
Hari masih pagi, penghuni rumah belum semuanya bangun. Gelas, asbak, botol-botol kaca dan kulit kacang berada di mana-mana. Semalam suntuk rumah yang berada di utara Jogja dipenuhi keramaian, sorak sorai, gelak tawa dan nyanyian bias khas orang tidak genap kesadarannya.
Iwan Fals, Ebit G, Queen, Betharia Sonata dan puluhan artis lain turut mengiringi percakapan malam itu. Saya haturkan milyaran terima kasih karena sudah membuat lagu yang kunci gitarnya mudah, tidak sulit dihapal, juga gampang dinyanyikan. Musikalitas saya terbatas, jadi, ya harus pintar pilah-pilah agar tidak dianggap remah. Nana ninu tembang kenangan dan lagu-lagu kebangsaan menjadi pilihan sebagai penjeda dari riuhnya obrolan ngawur masa remaja.
Dari seluruh peserta yang berada dalam lingkaran. Geni adalah bintang utamanya, didampingi Soleh sebagai penasehat umum yang tidak benar-benar sehat kala itu. Mereka tidak diundang secara khusus, dukungan semesta turut hadir dalam menyatukan kami, ajaib.
Geni dan Soleh merupakan sepasang sahabat yang cukup gila. Mereka lahir, tumbuh, bersekolah, dan besar di Yogya. Lebih rincinya, Geni dan Soleh pernah melewati gejolak mudanya di salah satu SMA yang konon sekarang sudah mulai sepi peminat. Mereka adalah akamsi yang menolak segala bentuk kriminalitas. Bagi Geni dan Soleh, kelakuan (nakal) yang mereka lakukan bukan tindak kejahatan. Tidak ada yang dirugikan, dan lebih banyak yang diuntungkan dari proses nakal tersebut. Maka, bagi Geni dan Soleh, nakal adalah sebuah bentuk ibadah dan kebebasan. Mungkin, Geni dan Soleh sedang mencetak sejarahnya agar bisa dikenang sampai anak cucu, atau generasi setelahnya.
Geni luar biasa badung, Soleh bilang begitu. Dia narasumber yang cukup handal untuk ditanyai segala hal tentang Geni. Menurut Soleh, saat SMA, Geni selalu tampil beda dari teman-teman lainnya. Baik dari penampilan atau pun kelakuan. Jika pelajaran sedang berlangsung, Geni tak pernah sekalipun membuka buku pelajaran. Biasanya dia hanya membawa satu buku yang dilipat menjadi dua bagian dan diletakan di saku belakang. Pun bukunya tidak untuk mencatat, melainkan hanya jadi syarat. Seperti identitas yang menunjukkan bahwa Geni adalah siswa yang siap dan sigap.
Sekali waktu, Geni berpapasan dengan salah seorang Guru BP yang memang sudah akrab dengannya, bukan akrab berteman, melainkan Geni sudah terlalu sering keluar masuk ruang BP untuk diberi bimbingan secara khusus. Di lorong sekolah yang tak cukup luas, sang guru memanggil dari depan pintu kelas dengan suara yang cukup keras. Dengan santainya, tetiba Geni menutup kedua telinganya rapat-rapat dengan kedua tangan dan bersikap cuek seolah tak ada satu pun makhluk yang memanggilnya, melanjutkan langkahnya, gotai pergi menjauh.
Wajah Soleh mulai merah, bukan mabuk, ia sedang berusaha keras untuk tidak tertawa saat bercerita. Ekspresi soleh saat memerankan Geni melewati guru BP seperti aktor yang sedang casting film laga, tapi terlalu banyak mengkosumsi ubi bakar. Layu dan legam. Titian langkahnya mengglayut seperti ranting kecil yang ditiup angin kencang. Entah, sudah botol keberapa.
Sikap kurangajar Geni berujung pada pemanggilan, jadwal rutin untuk konseling.
Masuk dalam top list 10 siswa pembangkang, keseharian Geni dan Soleh selama sekolah terdengar sangat menyenangkan. Jam kosong merupakan hal lumrah saat masa sekolah, dan pasti ditunggu oleh semua siswa. Ibarat berkah, waktu luang tidak boleh dibuang. Kali ini Geni yang lanjut bercerita, menimpali Soleh yang sedari tadi mengoloknya.
"Lha koe ra eling QQ nang pojokan kelas karo muteri AO" tanya Geni yang mulai nyaman dengan alkoholnya.
Soleh seperti sedang mengingat kejadian itu, matanya berputar berusaha menangkap memori yang dilempar Geni. Waktu sudah larut, namun semangat mereka berkisah tak terlihat surut.
"Dadi to, Mas. Mben dino ki neng kelas isine mung judi karo mabuk, liane kui, mbokep, pokokmen raono urusan sesok mben ki meh dadi opo." Soleh mencoba menerangkan duduk perkaranya. Dengan logat dan bahasa jawa yang kental, Soleh lagi-lagi menceritakan Geni lengkap dengan kebiasaannya. Setiap hari, di pojokan kelas, QQ adalah prioritas, semacam judi kecil kecilan saat tak ada pelajaran. Guru datang, jam pelajaran dimulai. Normalnya murid-murid akan duduk rapi berusaha menyerap dan memahami. Bagai mana dengan Geni? Sebotol anggur orang tua keluar entah dari mana, tiba-tiba sudah ada dibawah laci. Gelas plastik terisi cairan hitam, berputar menggilir satu-satu membasahi peserta belajar. Berdasarkan cerita Geni dan Soleh, judi, dan anggur adalah satu kesatuan. Karena siapapun yang memenangkan judi, penghujungnya tetap untuk beli anggur.
Mendengar cerita mereka tentang kenakalannya memang tidak bisa diwajarkan dan dinormalisasi, karena dalam beberapa perkara, merupakan sikap yang kurangajar. Sisi lainnya adalah, tidak semua perjalanan kisah remaja semuanya sesuai norma. Contoh hidupnya adalah Soleh dan Geni.
Malam makin larut, peserta di lingkaran mulai terlelap satu persatu, sementara saya sudah tidak bisa mengingat dangan baik. Geni dan Soleh masih asyik mengenang kejadian menahun lalu. Cerita terakhir yang berhasil saya rekonstruksi adalah saat Geni berhasil mengambil beberapa perangkat komputer sekolahnya, kemudian dijual untuk dibelikan anggur. Saya tertawa dalam tidur.
Malam itu cukup berkesan. Sekarang Geni sudah punya anak satu. Ia menjadi bapak yang bertanggungjawab. Saya sudah lama tidak mendengar kabar tentang Soleh. Mungkin, nanti saat saya kembali ke Jogja, saya akan mengajak mereka melakukan reuni di pondokan yang dulu sempat kami sewa untuk tempat tidur dan berkumpul.
Posting Komentar untuk "Geni yang Soleh"