Sekolah Formal, Karena Menjadi Aku adalah Kesalahan
Aku sudah melakukan proses sekolah sejak dini, jika aku tidak salah, sejak umurku empat tahun. Saat badan masih setinggi padi yang baru saja ditanam. Kecil dan sedini itu. Mungkin waktu itu pineal ku belum terbungkus sempurna, jadi ada beberapa bagian yang benar-benar tidak ku ketahui. Pun jika aku tau, hanya sebatas cerita yang dikisahkan oleh orangtuaku, atau hasil jejak rekam yang masih tersimpan.
Pada dasarnya sekolah adalah cara lain untuk mengisi waktu luang. Bukan sebuah rutinitas yang memaksa kita bangun pagi meski tak ingin, mandi walau masih bersih, atau berdandan rapi sesuai peraturan. Ya, peraturan.
Pun aku termasuk korban sekolah formal yang menyeragamkan semua hal agar menjadi lebih mudah. Pakaian yang diatur, pelajaran yang dipaksa agar semua murid paham dan mengerti, atau keteraturan lain, waktu, alat tulis, bahkan penilaian.
Semua didasarkan pada angka, semakin besar angka yang kita dapat saat ujian, maka pandai. Sebaliknya, bodoh adalah mereka yang bernilai kecil. Mereka yang dipaksa untuk tetap mengikuti walau tak suka.
Dulu, saat kecil aku memiliki ketertarikan pada hewan, tanaman dan kehidupan. Kecintaan ku tersebut sudah berlangsung sejak lama, bahkan sampai hari ini belum ada yang yang bisa menggantikan kedudukan cinta tersebut di hati ku.
Serial National Geographic menjadi jendela lain bagi ku untuk mengetahui segala hal tentang kehidupan. Aku rela dimarahi karena tidak belajar untuk menonton siaran NatGeo di TV, rela menunggu iklan selesai tayang tanpa pindah ke chanel lain agar tidak ada satu bagian pun yang terlewat. Aku cinta kehidupan.
Berternak dan bertani sudah bukan hal asing, stek bougenville, cangkok mangga, pergi kesawah, sedari kecil aku sudah melakukan ritual menanam, sedari kecil aku sudah memiliki banyak peliharaan. Ayam, kambing, kelinci, ikan hias, ikan konsumsi, marmut dan peliharaan lain yang tak wajar seperti semut dan jangkrik. Mereka sahabat ku. Disaat anak lain yang sebaya dengan ku sibuk bermain badminton atau bersepeda, aku setia memegang tali yang mengikat pada leher Rokli dan Roki. Menggembala mereka untuk melahap rumput di pelataran. Roki dan Rokli merupakan sepasang kambing yang dibelikan Ayah saat aku kelas lima SD. Namanya ku ambil dari tokoh di film Naruto.
Beranjak besar, aku makin gila dengan biologi, reaksi kimia, dan hukum fisika. Biarpun aku kurang suka dalam berhitung, tidak hebat dalam menghafal, tapi aku tetap menikmati pelajaran yang dikelompokan dalam jurusan IPA tersebut. Sebagaimana Zingiber officinale adalah jahe, Piper betle adalah daun sirih, dan jenis tumbuhan lain yang menjadi kesatuan dalam susuna akar, batang daun, bunga, buah dan biji. Sebagai mana urutan tabel periodik yang disusun berdasarkan nomor atom, konfigurasi elekton dan keberulangan sifat kimia. Aku sempat menganngap Albert Einstein sebagai pamanku, Isaac Newton teman dekat ayahku, Plato, Archimedes, Jhon Dalton Nikola Tesla dan banyak fisikawan terkemuka sebagai orang yang tidak asing. Kisah mereka masih membekas, perjuangan mereka untuk ilmu pengetahuan juga masih terkenang. Aku masih membuka semua tentang mereka. Aku menyukainya.
Satu kejadian yang membuatku patah hati sampai hari ini adalah, "nilai kamu gak pantes masuk IPA". Orang yang berkata seperti itu adalah dia yang seharusnya lebih mengerti kesukaan dan peminatanku. Orang yang seharusnya paham betul tentang muridnya. Bukan masalah IPA atau IPS, toh aku masih bisa membeli buku untuk dibaca, membuka internet jika ingin belajar. Tidak ada yang salah selain diriku sendiri. Kompetensi saja yang membuatnya jadi begini. Tapi rekomendasi seperti itu merupakan hasil penilaian singkat berdasarkan angka-angka yang berhasil ku kumpulkan. Kesimpulan dari daftar hadir dan kesedian angkat tangan di kelas. Bukan bedasarkan pengamatan dari banyak aspek, juga bukan kesimpulan yang dihasilkan berdasarkan kedekatan. Siapa yang unggul dalam persaingan, maka dia yang didapuk menjadi juara. Peringkat teratas berarti pandai, sementara yang berada diurutan bawah adalah anak bodoh yang malas, tak punya semangat belajar dan nakal. Stigma yang selalu melekat di sekolah.
Penyesalan tersebut terus menghantui, salah jurusan menjadi alasan. Nasi sudah jadi bubur, menyelesaikan apa yang sudah dimulai adalah pilihan.
Dewasa ini aku makin mengerti makna sekolah, "mengisi waktu luang". Mencari apa yang diinginkan, mempelajari apa yang jadi kesukaan, memahami apa yang seharusnya dibutuhkan. Perlahan aku menata ulang apa yang sudah terlanjur menjadi cita-cita, menyusun lagi dari awal agar kemudian hari tidak ada lagi penyesalan yang berulang.
Aku tidak mengenal bodoh, dan pandai hanyalah kebiasaan. Semua yang telah diciptakan Tuhan memiliki keunggulan tanpa kekurangan. Keyakinanku bicara seperti itu. Tidak ada kesia-siaan pada semua yang hidup, yang Tuhan berikan adalah anugerah, keterbatasan kita menjadikan mereka lemah. Ketidaktahuan kita menjadikan segala sesuatu yang tidak baik dianggap buruk.
Belajar tidak harus di kelas, belajar bukan melulu tentang nilai.
Selama proses belajar masih berpatokan pada peringkat, selama "A" adalah sempurna, aku tak akan percaya jika Ijazah merupakan barang penting. Aku yakin, masa depanku bukan hadir dari selembar kertas yang jadi kesepakatan, tapi proses yang membuatnya menjadi besar, kuat dan liar.
Que Sera Sera.
~sonowl
Posting Komentar untuk "Sekolah Formal, Karena Menjadi Aku adalah Kesalahan"