Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bumi Tidak Berhenti Merotasi, Bahkan Setelah Kepergian



Perkenalkan, namanya Ivan, lengkapnya Ivan Doni DWP. Orang-orang panggil dia Bleki. Bleki merupakan salah satu trand fashion terkemuka pada masa itu. Bibit percontohan paling unggul yang  dielukan banyak orang. Dia berproses diorganisasi yang sama dengan saya, Palafne UGM. Mas Senior yang paling paham sama kondisi orang-orang disekitarnya. Dia junjungan.

Juli 2015, Bleki dapat undangan spesial dari Tuhan. Dia berpulang lebih dulu dari tamasyanya yang singkat di Bumi. Mungkin di Surga sedang ada pesta besar, atau mungkin ada acara dan dia adalah salah satu pembicaranya.

Belum genap satu tahun saya mengenalnya, dia sudah lebih dulu berangkat ke Surga. Saya berharap bisa mengenalnya lebih lama, bercakap dan bercengkrama melihat liuknya saat bercerita dengan cara yang jenaka. Tuhan sayang kamu, Mas.

Waktu yang sebentar, sudah cukup untuk membangun sebuah emosional, merasa sedih dan sulit percaya bahwa memang benar terjadi. Itu yang saya rasakan. Kepergian memang menyesakkan.

Nanti dilain kesempatan saya akan menceritakan momen saya saat bersama Bleki, Mas Bibit Unggul.
Sebuah penghormatan untukmu, dan kehormatan untukku. Selamat menjelang tahun baru.

Semoga kebaikan selalu menyertaimu.

Meninggal dan ditinggal merupakan resiko yang harus kita hadapi  secara tabah, sebagai makhluk yang hidup dan masih menginjak tanah. Manusia tidak bisa mengelak apalagi menunda kematian. Sederhananya, "emang saya siapa bisa atur kehidupan?"

Baiknya kita kembali ke milyaran tahun lalu, jauh sebelum hari ini. Dimana kepergian sudah berlangsung, terus menerus dan berulang. Hidup, mati, hidup, mati, sampai terjadi sebuah evolusi panjang yang mengakibatkan terciptanya gen nenek moyang manusia. Mungkin kala itu tidak ada kesedihan, karena saya yakin Bumi 001 belum punya akal dan pikiran. Sebut saja makhluk bernyawa itu dengan  Bumi 001. Penghuni pertama yang diberi status hidup oleh Tuhan.

Milyaran tahun berlalu, evolusi terjadi, dan hadirlah produk manusia kekinian yang ringkih sama hujan dan kesedihan. Bentar-bentar minum kopi, hobinya nungguin senja, setelah itu bersajak sambil dengar lantunan lagu indie, tapi yang metal. Lah gak nyambung. Bukan bersenandung malah moshing.

Sebenernya gak ada yang salah dari kesedihan, wajar aja manusia sedih. Bahkan seekor Gajah pun merasa kehilangan dan bersedih kalo salah satu anggota kawanannya mati. Kesedihan merupakan wujud ekspresi untuk berduka cita, jadi bukan lagi rahasia umum semisal kamu abis putus sama pacar, terus nangis sedu di pinggir pantai, sah aja. Nangis sambil makan beling juga gak masalah.

Tapi bakal beda ceritanya antara ditinggal pacar sama ditinggal pindah hidup ke dunia lain. Kepergian yang benar-benar pergi. Malah ada beberapa tradisi dan kepercayaan yang cenderung ekstrim saat ditinggal sama orang terdekatnya. Di Mamugu Batas Batu, Asmat, di sana masyarakat menjatuhkan diri ke lumpur, berguling sampai seluruh badannya tertutupi dan belepotan. Hal tersebut konon dilakukan sebagai bentuk kepercayaan masyarakat untuk menolak ajakan arwah dan roh jahat orang yang meninggal. Saya belum pernah ke sana, sih. Ke Mamugu. Tapi pernah diceritain sama Mas Fawas. Coba sana baca bukunya kalo gak percaya, "Yang Menyublim di Sela Hujan".

Beberapa kali merasakan kepergian dan cerita-cerita sedih yang mengiringinya, saya jadi buat kesimpulan seperti ini. "Puncak kesedihan adalah ketika seseorang sudah merasa benar-benar ditinggal, sepi, dan kosong. Sampai pada akhirnya hanya berucap; oh ternyata udah gak ada."

Ini kesimpulan pribadi loh ya, gak harus dijadiin trah/panutan. Santai dan gak kaku. Kalo caramu lain, ya monggo, silakan, itu urusanmu.

Kematian, sebagian orang ada yang tenang menghadapinya, sebagiannya lagi ada yang panik dan takut untuk melewatinya.

Salah satu teman saya beberapa waktu lalu bercerita, kemungkinan yang paling dia takuti adalah meninggal. Dia membayangkan bisa melihat dirinya sendiri dan melihat orang lain menangis dibalut kesedihan. Orang-orang terdekatnya berduka, beberapa teman membahas kelakuannya selama di dunia, serta bayangan-bayangan lain yang buat saya pribadi aneh dan terlalu jauh. Ya kali udah gak ada nyawanya mau dibahas kelakuannya, yang udah mah udah. Kalo kebaikan, silakan. Tapi gak perlu juga dibeberin kejelekannya, kita itu bukan Tuhan, sayang. Kita gak berhak menghakimi, baik atau buruk udah ada yang nge-rekap.

Saya juga sempat memiliki pikiran seperti itu, tapi jauh lebih sederhana. Tentang pencapaian selama hidup di bumi yang sebentar ini. Tentang apa yang sudah saya lakukan semasa hidup, apakah saya sudah cukup berbakti, apakah saya sudah membuat orangtua saya bangga, apakah hidup saya sudah bermanfaat untuk orang lain dan banyak apakah lain yang menderet sampai ujung Jawa. Jauh, serius.

Ada atau tidaknya saya di Bumi, atau kamu, dia, mereka dan semua manusia yang kini masih menginjakan kakinya di tanah. Bumi tetap merotasi, Bumi tetap mengedar pada porosnya tanpa berhenti barang sedetik pun.

Di dunia, kesedihan hanyalah lantunan duka yang tidak boleh disenandungkan terus menerus. Jika surga benar ada, di sanalah tempat mereka sekarang berbahagia. Duduk di depan pelataran, dengan kopi dan buah anggur di cawan. Mendengarkan senandung aliran sungai hasil gemercik riaknya. Hampir sama kaya di Bumi, bedanya mereka jadi anak indie-nya Surga.

Dalam sebuah kepercayaan yang saya yakini, mereka lebih dulu berpulang karena mereka disayang.
Tuhan maha tau. Rencananya triliunan kali lebih maju dari pikiran saya dan kamu.

Berusahalah yang terbaik dari semua kebaikan yang bisa kita lakukan. Akumulasi pikir keri. Orang Jawa bilang gitu.

Semoga kita senantiasa dalam lindungannya.

Terimakasih sudah membaca.
Salam hormat pake tangan kanan.
~Son Owl

Posting Komentar untuk "Bumi Tidak Berhenti Merotasi, Bahkan Setelah Kepergian"