Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ciu, Dilema Alkohol Prematur



Banyak daerah di Indonesia yang memiliki minuman tradisional, Bandrek, Dawet, Bajigur dan minuman khas lainnya. Keanekaragaman minuman tradisional di setiap daerah tidak hanya berfungsi menyegarkan atau melepas dahaga, tapi ada juga loh yang bisa buat sarana rekreasi. Karena piknik gak harus ke gunung atau pantai. Berhayal dan merancau juga termasuk liburan.

Photo by Aris Andrianto
Nah, minuman yang satu ini sering disebut Ciu, minuman beralkohol dengan bau menusuk hidung, memiliki rasa pekat, murah, dan bikin mabuk. Biarpun tidak begitu murah, setidaknya harga ciu lebih rendah dari rekan alkohol lainnya, dan jelas punya efek yang lebih kuat. Ciu merupakan miras tradisioral, ada yang dari Banyumas, juga ada yang berasal dari Bekonang Sukoharjo. Keduanya memiliki citarasa yang berbeda, tapi tetap memiliki kadar alkohol yang tinggi.

Di Desa Wlahar, Brebes. Ciu dianggap sebagai suguhan khas untuk merayakan pertemuan, warga setempat meyakini minuman tersebut merupakan jamu yang dapat menyehatkan badan.
Bisanya, ciu juga diminum para penderes sebelum melakukan aktivitas. Setengah gelas sebelum berangkat, satu gelas setelah pulang nderes. Seperti sudah menjadi ritual yang wajib dilakukan.

Berbeda halnya dengan di Bekonang, Desa ini terkenal sebagai sentra penghasil ethanol, bagi para medis dan pengusaha. Tapi untuk mahasiswa atau orang yang suka minuman beralkohol, Bekonang menjadi tempat unggulan yang menyediakan ciu dengan tingkat kemurnian maksimal. Biasanya, ciu yang sudah didistribusikan ke berbagai daerah sudah diberi tambahan air dan alkohol lagi, selain rasanya rusak, tingkat resikonya jauh lebih tinggi. Selain bikin cepat mabuk, juga mempercepat pulang. Pulang kepangkuan-Nya.

Photo by Mhufid Anshori | Tribun Solo

Ciu Bekonang dibuat dari limbah gula (tetes tebu) yang di fermentasi selama enam hari, kemudian tetes tebu diberi air, alkohol, ragi tebu dan diaduk dalam drum yang dipanaskan menggunakan kayu bakar.
Kemudian masuk proses penyulingan selama empat jam. Penyulingan ini menghasilkan ciu dengan kadar alkohol 30%, untuk menghasilkan ethanol, dilakukangan penyulingan lagi untuk menghasilkan kadar alkohol 50-90%

Jadi, ciu yang beredar dipasaran merupakan hasil setegah jadi dari alkohol medis yang diolah lebih lanjut. ditambah beberapa campuran tradisional untuk mendapatkan rasa dan kadar alkohol yang pas. Ciu yang asli belum diberi tambahan air bisa menyala ketika di bakar, hasil api dan daya sambar menunjukan seberapa baik kualitas ciu tersebut. Ciu yang baik menurut vesrsi saya adalah yang memiliki warna api biru tapi tidak berasa terlalu pekat/galak.


Konon untuk meningkatkan citarasa ciu, ditambahkan cindil atau anakan tikus yang belum melek, kebenarannya belum bisa teruji secara pasti, namun ciu tetaplah ciu yang memiliki pasar dan penggemarnya sendiri.

Bagi para peminum ideologis, mengkonsumsi ciu bukan sekedar gaya hidup. Namun sebagai perlawanan terhadap hegemoni barat atas maraknya produk minuman keras yang beredar di Indonesia. Budaya minum produk beralkohol seperti Ciu Bekonang, Ciu Banyumas, Arak Bali, Moke atau ragam minuman beralkohol daerah lainnya bukan sekedar untuk hura-hura, tapi juga melestarikan budaya bangsa.

Sumber gambar: 1cak.com
Perajin ciu sudah ada sejak jaman kolonial, bisa dibilang sudah sebagai tradisi turun menurun warisan para leluhur. Biarpun industri alkohol di Bekonang sudah diatur dalam Perda, namun ciu tetap menjadi minuman ilegal dan tidak bisa dijual secara bebas.

Dari mulai duduk melingkar, njathil saat kerasukan ciu, merancau hebat, atau luka-luka ringan tidak menjadikan ciu kehilangan penggemarnya. Selain harganya yang bersahabat, ciu adalah identitas lokal yang perlu diapresiasi.

Seneng ciu ora su? sengsu!
Ojo kepolen nggeh.

Terimakasih sudah membaca.
~SonOwl





Posting Komentar untuk "Ciu, Dilema Alkohol Prematur"